Kak, kalau aku bilang sedang jatuh cinta, Kakak percaya?
Aku tertawa membaca pesan Salman.
Percaya. Sama siapa?
Ada, deh. :)
Arlen keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit pinggangnya. Tanpa berkata apa-apa, aku menyimpan ponsel, lalu masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Kami belum berbicara lagi sejak pertengkaran semalam.
Aku ragu-ragu keluar saat menyimpan sikat gigiku di tempatnya. Di hari biasa, aku akan mengancingkan kemeja Arlen, memperbaiki tatanan rambutnya, memberinya pujian, dan semuanya sering berakhir dengan ciuman lembut yang menyenangkan. Tidak hari ini, tentu saja. Di ambang pintu kamar mandi, kulihat tubuh Arlen sudah berbalut kemeja kuning telur dan celana kain hitam. Dia tidak menegurku. Kurasa aku harus keluar, mungkin mengecek Mika di kamarnya. Kalau Mika masih tidur, mungkin aku bisa membantu Bibi menyiapkan sarapan.
Aku membuka pintu kamar dan Arlen masih tidak menegurku. Apa kata-kataku semalam benar-benar menyakitinya? Apa keinginan menunda memiliki anak lagi sudah membuat Arlen berpikir kalau aku istri yang egois? Apa aku memang egois?
***
Gue tersenyum di kursi penumpang. Tiba-tiba saja gue sudah di Jakarta. Oh, tidak tiba-tiba seperti “simsalabim Jakarta!”, lalu tubuh gue berpindah dari rumah gue di Surabaya ke apartemen gue di Jakarta. Pagi tadi gue menonton televisi bersama Mama. Saat asyik memindahkan saluran, ada berita tentang berlian. Gue teringat perkataan Iren tentang berlian, jadi gue langsung menelepon teman gue itu.
“Kamu suka sama dia,” simpul Iren setelah gue selesai bercerita. Gue tidak bilang kalau Salman adalah adik Diara, gue juga tidak bilang kalau Diara sekarang istri Arlen. Entah mengapa, gue merasa malu. Itu sebuah kegagalan besar untuk gue, untuk diketahui orang lain.
“Ih, siapa yang suka?” bantah gue. “Dia masih dua puluh lima tahun. Masih kecil banget.”
“Kamu lupa? Waktu kuliah kamu pacaran sama laki-laki tiga puluh tujuh tahun.” Nada suara Iren terdengar sangat puas.