Aku menaiki tangga ragu-ragu. Kata Bibi, Arlen dan Mika ada di lantai dua. Aku melihat mereka sekarang. Keduanya duduk di karpet dengan bantal sofa yang berhamburan, juga boneka, juga mobil-mobilan, juga buku-buku bergambar, juga pensil warna. “Ma, Papa gambal ini!” teriak Mika saat melihatku mendekat. “Ini Dola.”
Aku tersenyum kecil melihat gambar di kertas yang ditunjukkan Mika. “Bagus. Kenapa nggak diwarnai?” Aku duduk di samping Mika. Di samping lainnya Arlen mulai berdiri, lalu mengempas di sofa di belakangnya. ”Ayo kita warnai.” Aku pun meraih pensil berwarna hitam dari kotaknya, lalu memberikannya pada Mika agar dia mewarnai rambut kartun kesukaannya itu.
“Mm, pakai ini, Ma!” Mika mengangkat spidol berwarna biru.
“Oke,” kataku, “rambutnya Dora nanti jadi warna bi—?”
“Bilu!” sahut Mika girang. Lalu, dia menengok melihat Arlen. “Papa lagi apa?”
“Lagi baca novel,” ucap Arlen. Aku melihat dia memegang Istanbul karya Orhan Pamuk.
“Opel?” tanya Mika.
“Iya.” Aku yang menyahut, “Novel itu … buku cerita.”
Mika tidak bertanya lagi. Dia pun menunduk mewarnai rambut Dora.
Setelah rambut yang berwarna biru, sekarang baju yang berwarna hijau. Aku menunggu hasilnya sambil menduga-duga keseriusan Arlen membaca. Pelan-pelan, aku ikut duduk di sofa. Mika langsung menoleh, mungkin berpikir aku akan meninggalkannya. Arlen tidak bergerak sedikit pun. Aku ingin dia menyapaku terlebih dahulu, tetapi sepertinya aku yang harus melakukan itu. “A, besok syukuran lagunya Salman jam dua. Kamu bisa ikut?”
“Bisa.” Arlen menjawab santai, tetapi tidak mendongak dari buku di tangannya, buku yang sudah lama kutamatkan, dan dia masih di halaman 46.
Aku akhirnya mempersempit jarak di antara kami, terpaut setengah meter sekarang. Aku menyamping dan Arlen masih duduk tegak lurus dengan kaki kanan bertumpu pada paha kiri. Aku memandanginya seraya mengumpulkan keberanian mengungkit “perdebatan” kami kemarin malam. “A,” ucapku pada akhirnya, “aku minta maaf.”
Arlen menutup buku perlahan, lalu memandangiku. Aku refleks menunduk. “D,” Arlen meraih tanganku, “aku juga minta maaf, maaf untuk semuanya, tapi jujur, aku sangat mengharapkan anak kedua. Kamu lihat mobil-mobilan itu … sudah banyak yang kukasih sama Mika. Aku sudah menunggu sejak dua tahun lalu, D. Saat itu, oke, aku bisa memahami alasanmu. Trauma, terus jarak antara Mika dan adiknya tidak boleh terlalu rapat, lalu kamu asyik bekerja, lalu kamu sakit, lalu kamu bohong sudah tidak meminum pil KB lagi.”
“Aku sakit? Kamu mempermasalahkan penyakitku?”
“Bukan begitu, D. Maksudku—”
“Oke, terserah kamu. Aku benar-benar akan membuang pil itu. Ya, oke, anak laki-laki, ‘kan? Sekalian nanti kita konsultasi ke dokter, biar anaknya bukan perempuan.” Aku langsung bangkit.
“D, percuma kalau kamu tidak ikhlas.” Arlen berhenti bicara karena Mika berteriak memanggilku. Aku tidak menjawab.
Entah mengapa, aku sangat emosional mendengar kata-kata Arlen barusan. Aku merasa dia menyudutkanku. Dia tidak menghargai upayaku yang sudah lebih dulu meminta maaf.
***
Pesan atau ke restoran, ya? Gue duduk di depan meja rias, menyisir rambut panjang gue. Pesan atau ke restoran? Mm, pesan, deh.
Hp gue berdering. Salman.
“Halo,” sapa suara di seberang, “sibuk?”
“Nggak. Ada apa, Sal?”
“Sudah makan?”