Aku memilih duduk di kursi belakang bersama Mika, sedangkan Arlen di depan kemudi. Sudah nyaris sepuluh menit perjalanan, aku dan Arlen belum saling bicara. “Paman mau menyanyi di mana, Ma?” Mika mendongak padaku.
“Di kafe, Sayang.”
“Di sana ada Paman, ya, Ma?” Mika berdiri memeluk kepalaku. Aku melingkarkan tangan di pinggangnya. “Itu … aku mau ketemu Paman.”
“Iya, nanti ketemu di sana. Jangan dihambur, Sayang, kupluk Mama.”
Mika tertawa. Aku merapikan kembali kupluk di kepalaku dan Mika menjatuhkan diri di pelukanku. Aku langsung mencium pipinya. “Cium Mama juga,” kataku seraya memberikan pipi kanan. Dia menciumnya lama. “Bilang apa sama Mama?”
“I love you, Mom. “Papa, I love you.”
“I love you too,” sahut Arlen tanpa berpaling dari kemudi.
“Mama juga bilang,” tuntut Mika padaku.
Aku menarik pelan hidung mancungnya seraya berkata, “I love you, Sayang.”
“Bukan begitu. Mama halus bilang I love you, Papa. Begitu.” Melihatku hanya diam, Mika mendesak. “Ayo, Ma.”
Mau tidak mau, aku pun mengatakannya. Suaraku canggung. Lebih canggung lagi saat kulihat Arlen tidak merespons sedikit pun.
***
Kayaknya gue datang terlalu cepat. Masih jam satu lewat sepuluh menit. Gue parkir dan turun dari mobil. Beberapa pelayan menyiapkan makanan di meja-meja besar yang berada di depan. Dari posisinya yang agak jauh dari kursi-kursi besi yang jumlahnya hampir seratus, gue rasa itu meja dan sofa untuk tamu VIP. Apa gue akan duduk di situ juga?
Gue mengedarkan pandangan. Kafe ini sepertinya sudah di-booking untuk acara Salman. Dekorasinya minimalis, sangat cocok dengan pemandangan sawah di kanan dan kiri kafe. Spanduk dan banner yang menunjukkan foto sampul lagu Salman terpajang di mana-mana.
Gue berbelok ke kanan. Sekitar tiga meter di hadapan gue, tampak segerombolan pemuda-pemudi berbaju ungu muda. Ada tulisan SALOVERS di punggung mereka, tercetak kapital dengan warna putih. Mereka sedang mengerumuni seorang pria yang tidak asing bagi gue. Pria itu salah satu kru Jack. Dia selalu membantu saat ada acara seperti ini.
"Kak Tisa!" Seseorang histeris melihat gue. Semua mata akhirnya tertuju ke gue. Mau tidak mau, gue tersenyum dan mendekat.
“Wah, rame, ya,” kata gue basa-basi. Gue rasa mereka berjumlah lima belas orang.
"Ini masih ada yang di jalan, Kak," jawab salah satu fans yang tubuhnya paling besar.
"Oh, emangnya semua berapa?"
"Empat puluh aja, Kak, kuota untuk fans. Padahal, masih banyak yang mau ikut."
"Oh. Nggak apa-apa. Masih banyak kesempatan," kata gue sok bijaksana. "Eh, lucu baju kalian.”
“Makasih, Kak,” ucap perempuan berambut keriting. “Kakak cantik banget, ya.”