Mika akhirnya tertidur setelah mengoceh dan mengganggu pamannya selama kurang lebih tiga puluh menit. Aku menyelimuti Mika di tempat tidur. Saat hendak ke dapur menyusul Salman yang sedang membuat jus, aku melihat CD Mendengarkan Cinta di nakas. Itu adalah mini album Salman yang katanya diproduksi terbatas.
Hal yang cukup mengagetkan dari CD itu adalah terdapat tulisan: Untuk Tisa, semoga nada-nada selalu mengingatkanmu pada keajaiban cinta. Di bawah tulisan itu terdapat tanda tangan Salman yang bertabur “love” kecil-kecil.
“Jadi, kalian satu apartemen?” Aku menarik kursi meja makan Salman. “Kamu di sini bukan karena ikut-ikutan dia, ‘kan?”
“Jack yang merekomendasikan tempat ini.” Salman memberiku segelas jus alpukat. “Bagaimana menurut Kakak?”
“Bagus.” Salman duduk di hadapanku dengan jus yang sama, tetapi berwarna kecokelatan karena diberi kopi, sesuatu yang tidak kusukai. “Tapi, Sal, kamu bisa nolak saran manajermu kalau kamu memang nggak suka. Jangan jadi robot bisnis—”
Salman mentertawaiku. “Kakak ini. Aku suka, kok, di sini.”
“Apa semua artis JM tinggal di sini?” Aku menyesap jusku.
“Tidak. Hanya aku dan Tisa. Dia di sebelah.”
Aku nyaris tersedak melihat tangan Salman menunjuk tembok sebelah kiri. “Kalian tetangga kamar? Kamu bisa betah tinggal dekat-dekat dia?”
“Kak, ada apa, sih, dengan kalian?”
Melintas pikiran untuk mengatakan tidak ada apa-apa antara aku dan Tisa, tetapi itu tidak akan mencerahkan perspektif Salman tentang tetangga kamarnya. “Sal, kami satu sekolah selama enam tahun. Sekelas satu kali waktu SMP. Dia itu tidak beres. Otaknya kosong, hanya bisa jalan lenggak-lenggok, cari masalah, cari musuh.”
“Ya, ampun.” Salman tersenyum simpul, meremehkan keteranganku. “Namanya juga masa remaja. Orang bisa berubah dan kayaknya dia nggak kayak gitu."
"Cepat banget kamu berspekulasi. Kalian udah dekat atau gimana?"
"Ya, dekat kayak teman aja." Salman kemudian tegas memandangku. "Tapi, masalah Kakak dan dia, spesifiknya gimana?”
“Dia itu tukang bully, Sal, tukang fitnah, tukang rampas, sok paling berkuasa.” Aku memandang foto Mika di meja televisi. “Jadi, masalah kami dimulai dari … bisa dibilang aku melawan dia dan dia tidak suka dilawan.”
“Tapi, dia kelihatan baik. Maksudku, dia bahkan humoris. Dia menyenangkan.”
“Jadi, kamu nggak percaya sama cerita Kakak?” Aku memandangnya sengit. “Sal, tadi itu dia bilang kalau Mika nakal. Dia bicara begitu sama anak umur tiga tahun yang nggak sengaja ngelempar sepatu ke lengannya. Kalau Mika sendirian, mungkin perempuan itu udah main tangan. Terus, dia nyuruh aku minta maaf sambil berlutut di kakinya.” Gue tertawa.
Salman diam, tampak tidak suka dengan informasi yang didengarnya. “Jadi, Kakak belum minta maaf?”
“Oh, kamu setuju aku berlutut?”
“Bukan berlutut, Kak, tapi minta maaf.”
“Kenapa aku seperti sedang bicara dengan adiknya Tisa?” Aku meneguk habis jusku. “Apa ada hubungannya dengan pesanmu beberapa hari yang lalu?”
“Pesan yang mana?”
“Pesan yang bilang ‘Kak, aku lagi jatuh cinta’.”
“Oh, itu.” Salman membungkam mulutnya dengan sebanyak-banyaknya alpukat.