Aku masih ingat segala celotehan jenakamu yang ajaibnya mampu membiusku menjadi segila itu. Kau tahu? Saking gilanya aku bisa bernyanyi sepanjang hari, tersenyum-senyum sendiri, menulis puisi di masa senggang bahkan sambil bekerja.
Ah! Tidak profesional sekali. Namun, siapa pula yang mampu menopengi wajah dari rasa indah yang mulai merekah. Aku mencuri-curi pandang dari kejauhan, bahkan jambul di kepalamu aku paham, derap khas kakimu kuhapal, dan suaramu pun seakan terrekam di pendengaran.
Kemudian kau pun menunjukkan wajah aslimu. Yang membuatku terluka bukan perangaimu, tapi kelalaian diriku. Ya, aku lalai akan siaga terhadap segala kemungkinan untuk terluka dan menuai kecewa. Aku lupa, bahwasanya segala apapun yang tak pasti akan memiliki multi kemungkinan yang bahkan tak pernah diterka, bukan? Hingga aku pun berpikir keras.