Hujan selalu berhasil mengungkit kenangan. Malam senantiasa setia dengan warna hitam. Meski kepekatannya tak berpendirian. Dan hujan di waktu malam, lengkap sudah untuk membangkitkan kenangan nan kelam itu di titik paling tersembunyi. Jauh di dasar nurani.
Ialah nurani yang tak pernah sekali pun menghianati. Hanya ia sejatinya pembeda. Lisan bisa saja mengolah kata, hati boleh jadi memanipulasi, raga bisa saja berpura-pura, jiwa mungkin bisa berdusta, tapi tidak dengan nurani. Tak percaya? Silakan coba berbohong, tapi nuranimu tahu yang kau katakan itu bukanlah kebenaran. Begitu pula dengan rasa, apapun itu. Sekuat apapun kau memungkiri sejatinya nuranimu mengakui.
Dan aku? Akulah si pendusta rasa paling ulung di hadapanmu. Kau tahu? Senyumku palsu, tawa ini dusta, dan ketenangan jiwa sekadar kamuplase belaka. Seperti bunglon yang bisa menyesuaikan warna sesuai tempat yang disinggahinya. Maka seperti itulah aku memanipulasi ekspresi sesuai raut yang terlihat dari wajahmu yang syarat ketentraman itu.