Siang ini mega mendung menggantung di langit kelabu, selayaknya pilu yang merundung qolbu. Binar netraku meredup, memuram, sesak tertahan. Pengap. Hujan mulai turun, berkali-kali, seperti tak lelah terjatuh membentur bumi. Bau tanah menyeruak, memberikan sensasi tak biasa tatkala kuhirup dalam-dalam seraya terpejam. Kaki ini meniti langkah pelan, tapi benakku jauh mengawang, kenangan-kenangan itu seakan berlarian.
Sial! Mengapa yang terbayang adalah kehilangan, lelukaan, dan berujung penyesslan? Kepalaku menengadah pasrah, membiarkan sang banyu memandikan wajah. Badan kian kuyup, gigil menyerang tanpa ampun. Bibir bergetar seiring gemeretak gigi yang bersahutan. Lidahku kian kelu, telapak tangan dan kaki begitu kebas. Kupeluk tubuhku sendiri, berusaha berkawan dengan hujan. Ya, hanya hujan yang bisa kujadikan tempat persembunyian, menyamarkan sedu sedan yang tak kunjung terredakan.
Jika bisa, saat itu mungkin akan kupilih diri ini saja yang tiada. Jangan kau! Sebab kau pergi ke illahi, maka hatiku yang mati. Ya, hatiku kian mati rasa, mungkin tak sanggup lagi mencinta. Bagaimana aku bisa merasakannya lagi? Sedangkan cinta ini telah terkubur dalam-dalam bersama jasadmu. Di sana, di pembaringan terkahirmu. Di pusara yang selalu membuatku terpaku dan membisu hingga lupa waktu.