Degup di dada yang telah lama tak kurasa, detik ini kembali terjadi. Dengan halusnya kau menghardik diriku dari kehidupanmu. Katamu, dirimu tak pantas lagi untuk membersamai hari-hariku saat ini. Di saat telah satu persatu kuraih mimpi-mimpi, dan kau memilih pergi. Harus bagaimana caraku menanggapi? Telah kucoba mencegah, tapi kau terus melangkah. Menjauh terus merenggang hingga jarak di antara kita semakin terbentang.
Masih kuingat betul, bagaimana dulu kau begitu mendukung mimpi-mimpiku ini. Bahkan di saat diriku sendiri pun menganggap angan itu sebagai kemustahilan, tapi kau mencerahkan harapan itu sebagai keniscayaan. Kau begitu gigih memotivasi, amat tulus mendoakan, dan tak kenal lelah menyulut api semangat dengan pandanganmu yang penuh dengan keyakinan.
Namun, mengapa kini pandanganmu beralih haluan? Bahkan bermanuver menjadi bertolak belakang. Ke mana jiwa optimisme dirimu yang selalu mampu meraih tanganku untuk bangkit? Saat diriku terjatuh dan dicampakkan kegagalan. Di mana kau buang segala wejangan yang menguatkan tekadku? Kenapa sekarang malah tekadmu yang melemah?
Aku tahu, memang sudah hukum alam. Jika ada pertemuan maka akan selalu ada perpisahan. Namun, bukan perpisahan macam ini yang kuharapkan. Bukan karena salah satu dari kita memilih meninggalkan. Bukan! Yang kumau kita arungi samudra mahligai cinta dalam ikatan suci hingga tiba di muara kekekalan bernama takdir kematian. Namun, apa boleh buat, kau sudah memilih, bukan? Bahkan, kuminta berpikir ulang saja tiada sedikit pun kau hiraukan.