Suara mesin EKG, dan bau rumah sakit kini sudah menjadi makanan sehari-hariku. Aku Fay, seorang putri tunggal dari keluarga yang sederhana, dan hangat. Ayahku seorang pengacara, dan ibuku seorang model berusia paruh baya yang sudah tidak aktif lagi. Aku tahun ini, adalah seorang gadis yang bertransformasi menjadi wanita berusia delapan belas tahun. Tepat pada hari ulang tahunku, aku harus diopname karena keadaan paru-paruku yang kurang stabil. Meski begitu, Aku sudah tidak lagi terkejut dengan kenyataan yang harus diterima. Aku didiagnosis memiliki pneumonia saat usiaku masih sangat belia.
Tahun ini, aku dan keluargaku merayakan ulang tahunku di rumah sakit. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, dan tahun yang akan datang. Kue ulang tahunku juga terpaksa diganti dengan bubur tawar yang baik untuk kesehatan tubuh. Lebih buruk lagi, ayahku tidak bisa hadir karena sidang mendadak yang harus dihadirinya. Hanya ada aku, dan ibuku dalam ruangan sempit hari itu. Kita menyanyikan lagu ulang tahun dengan perasaan campur aduk dalam hatiku.
“Tiup lilinnya, sayang..” Lilin bercorak putih, dan ungu dipasangkannya di samping mangkuk buburku yang panas. Aku memejamkan mata, dan berharap dalam hatiku lalu kutiup lilin dengan semangat. Ibuku tersenyum riang dengan mata berkaca-kaca menatap ke arahku. Sama sakitnya seperti pencucian darah, dan kemoterapi yang kujalani, dadaku terasa sesak melihat kedua orang tuaku begitu kelelahan, dan berharap.
“Bu, Fay gak kenapa-kenapa kok, kenapa nangis sih?” Keluhku sambil menepuk-nepuk pundak ibu. Ibu menggeleng, dan mengelus kepalaku dengan do’a di setiap gerakannya. Ibu tidak menangis karena sedih, ia pasti bahagia, putrinya yang sakit-sakitan, dan merepotkan masih hidup hingga usia dewasanya, pikirku. Aku tersenyum, dan terkikik. Tiba-tiba suara ketukan pintu masuk diantara percakapanku, dan ibu. Kujawab setengah berteriak,
“Masuk.” Tangan sawo matang dengan banyak kerutan masuk membuka pintu kamarku. Aku beri senyum ramah, dan isyarat padanya untuk mendekat. Ia dokter spesialisku. Seseorang yang sudah hampir sepuluh tahun bersamaku, Dokter Septian.
“Maaf ya dokter ganggu waktu Fay, dan mama ngobrol, ada yang mau dokter sampaikan sama mama, papa juga sudah menunggu di ruangan dokter. Gapapa ‘kan ya?” Izin Dokter Septian hangat. Aku memasang mulut bebekku dengan wajah sedikit kecewa.
“Yaudah, jangan lama-lama, ya.” Ucapku bercanda. Dokter Septian terkikik, dan berlalu bersama Ibu. Kalian tahu? Wajah, dan kata-katanya yang ceria bukanlah berita bahagia. Dokter adalah orang yang paling pandai, dan paling berbakat untuk menutupi rasa sakitnya. Untuk memberi sedikit air dingin di neraka yang panas, untuk memberi lapisan harapan di hati yang sudah tidak lagi berharap. Aku tahu itu, tapi tidak bisa banyak bereaksi. Kalau aku menunjukkannya terang-terangan akan terlihat jelas aku adalah orang yang gagal untuk mempertahankan diriku sendiri.
Ibu, dan ayah tidak akan datang cepat seperti janjinya. Keduanya akan menangis terisak di ruangan Dokter Septian sambil memohon, dan berlutut seolah dokter adalah Tuhan. Karena diriku, keduanya hilang akal, dan kelelahan. Karena tubuh bodohku aku tidak bisa membuat keduanya berbangga. Ibuku hanya terpaku diam tanpa suara tatkala pertemuan orang tua. Semua wali kecuali ibuku bercerita bagaimana membanggakannya anak mereka, tapi ibuku tidak bisa. Karena tubuh bodoh ini, aku tidak bisa bermain, dan belajar seperti anak-anak lain. Semua karena diriku.
Mangkuk buburku sekarang sudah kosong. Ibu belum juga kembali, begitu juga ayah atau Dokter Septian, sama seperti dugaanku. Karena lelah hanya duduk, dan berkhayal, aku putuskan untuk berkeliling keluar, dan menghirup udara selagi bisa. Kusapa satu persatu petugas rumah sakit dengan ramah, merekalah teman-temanku, yang bisa dibilang teman seumur hidupku. Aku sakit saat usiaku masih delapan tahun, dan dirawat lebih dari usiaku saat itu, jadi tidak salah jika aku menyebutnya begitu. Langkahku berhenti bergerak, disanalah ayah, dan ibuku. Seperti serigala yang kehilangan mangsanya, mereka marah dan terluka. Keputusan dokter mungkinlah sebegitu beratnya hingga keduanya tidak lagi berdaya untuk memaki, atau menangis. Keduanya hanya duduk dengan tatapan kosong, tidak lagi dengan air mata, hanya batang tubuh yang lelah, mata yang bengkak, dan hati yang terluka. Separah itu, hingga aku pun tidak berani untuk datang, dan memperburuk suasana. Aku berbalik, dan kembali ke kamar. Menunggu mereka datang, duduk tenang, dan tidak berusaha untuk mengerti.
Ibu, dan ayah kembali setelah dua jam lamanya termenung di koridor rumah sakit. Seperti yang aku katakan, keduanya kembali dengan wajah begitu ceria, dan luar biasa cerah. Mungkin dengan begitu, aku bisa merasa lebih baik dengan hidupku. Sepuluh tahun pengalaman berpura-pura bahagia ternyata ada hasilnya juga. Ibu membawa sekeranjang apel yang sudah dicuci, dan ayah datang langsung mengecup keningku.