Sudah seminggu sejak kepulanganku ke rumah. Selama seminggu itu juga, kenangan manisku terbentuk sedikit demi sedikit. Meskipun ayah tidak begitu bersamaku, tidak apa, aku paham. Ayah adalah orang yang sibuk. Sebagai gantinya, aku banyak menghabiskan waktu dengan ibu. Kami sering pergi ke taman dekat rumah, belanja ke pasaraya, dan hal ibu-anak perempuan lainnya. Aku juga masih mencari masa yang tepat untuk meminta izin kembali ke sekolah lagi. Hari ini, aku, dan ibu akan membuat makanan kesukaan keluarga kami, Soupe a l’oignon. Hidangan keluarga dari perancis, mudahnya sih disebut sup bawang. Aku mencuri pandang pada ibu yang masih serius menguliti bawang bombay. Karena suasananya tidak begitu intens, aku akan coba tanya lagi perihal sekolah.
“Bu,..” Panggilku pelan. Ibu memiringkan kepalanya sedikit ke arahku, memberi isyarat bahwa ia mendengarkan. Aku menelan ludah, merasa ini bukan ide yang bagus.
“Fay..bener-bener pengen sekolah lagi.” Tangannya berhenti bekerja, dan wajahnya langsung berubah lesu, dan tegang. Aku menegakkan bahuku, menegaskan bahwa aku serius dengan hal ini. Ibu menatapku dengan tatapan tidak setuju.
“Ibu gak akan biarin kamu balik ke sekolah, Fay. Gak akan..” Tegas Ibu tanpa pikir panjang. Badanku melemas, Aku memutar otak, demi Tuhan, hanya kali ini saja dengarkan aku. Ibu masih memasang wajah seriusnya.
“Tapi, bu...Fay kangen sekolah.” Pintaku sekali lagi dengan wajah memelas. Ibu tetap tak bergeming, ia menggeleng kuat. Aku benar-benar ada di batas kemampuanku untuk menjadi sopan saat ini. Aku meluruskan bahu, dan menaikkan suaraku.
“Bu, kenapa sih Fay gak bisa mutusin satu hal aja dalam hidup Fay sendiri?” Nada bicaraku meninggi, membuat wajah ibu yang sangar berubah kaget dalam sekejap. “Kalau memang kata-kata ibu tentang Fay yang sudah pulih memang bener, kenapa Fay masih merasa dikurung? Fay tahu ibu bilang begitu untuk bikin Fay tenang, tapi ibu tahu? Semua kenyataan pahit yang ibu, dan ayah sembunyiin justru kelihatan lebih jelas..” Ucapku masih sedikit membentak. Wajah ibu kini membiru, tidak bisa berkata-berkata. Semuanya terasa hening, tidak ada suara yang terdengar. Aku terdiam, kemudian pergi berlalu ke kamarku dengan perasaan yang amat terganggu, perasaan bersalah setelah melakukan hal yang seharusnya tidak aku lakukan.
Aku mengurung diriku di dalam kamar, membuat semua energi negatifku terkurung hanya di dalamnya saja. Hati ibu pasti sangat terluka. Aku memang putri yang tidak tahu malu, padahal ibu, dan ayah melakukan semua demi diriku. Aku yang egois ini seharusnya dihukum seperti seorang pecandu yang memaki kepolisian. Keras kepala. Seharusnya mereka biarkan saja putri mereka yang keras kepala ini mati dalam pakaian rumah sakit, untuk apa diselamatkan kalau jadi pembangkang seperti ini? Aku pasti benar-benar sehat sampai bisa membentak ibuku sendiri.
Setelah mengintrospeksi diriku, kuberanikan langkahku mendekati kamar Ibu yang tidak sepenuhnya tertutup. Isak tangisnya bisa terdengar jelas hingga luar kamarnya. Ibu punya hati yang tegar, namun mudah rapuh makanya tidak bisa ia sembunyikan sakit yang dirasakannya. Tampaknya ibu sedang berbincang lewat telepon, dengan siapa? Ayahkah? Kuambil langkah kecil sebelum masuk ke dalam kamarnya. Mengintip apa yang dilakukannya.
“I…” Aku hendak memanggilnya. Namun tak sengaja terpotong, ternyata ibu sedang bicara dengan Dokter Septian, berbincang tentang aku.
“...kalau Fay sakit, dan pingsan di sekolah bagaimana, dok?” Aku menyembunyikan tubuhku di balik pintu agar ibu tidak melihat, sambil mendengarkan percakapan mereka. Di sela-sela dialognya, ibu masih terisak mencoba menahan suara tangisnya agar aku tidak mendengar.
“...saya mengerti, dok. Tapi, waktu,..sisa waktu Fay tidak banyak,..Walau tidak kelihatan, pasti tubuhnya merasakan sakit. Apa saya tidak jahat membiarkan dia pergi dengan kondisinya?” Ibu masih belum sepenuhnya terima dengan pernyataan yang menyesakkan ini, maka dari itu ia banyak tersendat-sendat. Waktuku tidak banyak rupanya, tubuhku sudah tidak sanggup bertahan lagi rupanya. Aku menahan dada, rasanya sesak sekali. Aku selama ini mengira aku adalah gadis yang tangguh, dan ketika aku harus berhadapan dengan hal seperti ini, aku sudah cukup kuat untuk menahannya, tapi kenyataan berbeda dari apa yang dijanjikan. Tubuhku tetap tidak kuasa mendengar hal ini. Seperti istana pasir yang tersapu ombak pantai, meski kecil, dan perlahan-lahan, perasaanku hancur. Seperti kapuk yang tersentuh batang rokok, aku perlahan-lahan kehilangan diriku sendiri. Mendadak rasanya aku ingin berlari pergi, dan tidak mendengarnya.
Ibu sudah mengakhiri percakapannya dengan Dokter Septian sedari tadi, tapi air matanya tetap saja berjatuhan membuat bedak di wajahnya luntur tidak karuan di sapu tangan. Aku sudah sampai pada titik ini saja sudah baik, ku usahakan untuk menerima, dan menjadi lebih tegar. Saat usiaku masih sepuluh tahun, ada banyak sekali proses kesehatan yang aku lakukan dalam satu tahun, itu adalah tahun yang berat, dokter di rumah sakit memberiku julukan yang masih sangat berbekas, aku adalah sebuah batu. Batu yang kuat, dan tidak terkalahkan. Tentu saja, itu sangat memotivasi diriku di usia sepuluh tahun. Seiring dengan waktu yang habis, dan jalan yang kulalui, aku mengerti. Aku adalah batu. Aku kuat, tapi tidak selamanya. Seperti batu yang terkikis air, kuat dan beraniku juga perlahan-lahan pergi, dan menghilang tanpa sadar. Jadi, di titik manapun air berhenti, seharusnya sudah menjadi kabar baik untuk sang batu. Aku mengambil nafas dalam, dan berdiri mengetuk pintu kamar ibu.
“Bu, ini Fay…” Wajah Ibu yang bengkak setelah menangis ia tutupi dengan senyum. Sampai hati aku akan membicarakan perihal masalah ini lagi, tapi jika tidak dicoba, aku tidak akan tahu. Bola mataku mengelilingi ruangan, tanganku basah karena keringatku sendiri, rasanya gugup sekali.
“Fay minta maaf soal tadi, Bu. Fay salah.” Ucapku keras, dan singkat. Ibu memberiku anggukan, dengan wajahnya yang sabar, dan pengertian. Aku menegakkan pandanganku pada wajah ibu.
“Bu, Fay pengen sekolah, Fay serius.” Aku lagi-lagi membuat wajah ibu memucat. Ia dengan sengaja langsung membuang wajahnya ke luar jendela. Aku mendekat, dan mendekapnya hangat dari belakang,
“Bu, dengarkan Fay, ya… Maaf, bu, tadi nggak sengaja Fay dengar semuanya, yang ibu bicarakan sama Dokter…” Gerak tubuh Ibu langsung kembang kempis tak karuan, Ia berusaha untuk memutar badan, tapi kutahan. Aku ingin menyelesaikan kalimatku dulu.
“...karena alasan itu, apa ibu nggak bisa biarin Fay pergi? Fay nggak punya banyak waktu, bu. Biarin Fay satu kali ini aja, Fay mohon..” Tanpa sadar, air mata juga mengalir keluar dari pelupuk. Ibu tidak berkata apa-apa, hanya menangis tanpa suara sambil menepuk-nepuk tanganku yang melingkari tubuhnya. Kami menghabiskan sore itu dengan tangisan yang tidak kunjung habis. Namun malamnya, Ibu memberiku izin pergi, meski tidak secara langsung. Ia sengaja meninggalkan surat penerimaan murid di salah satu sekolah desain non-pemerintahan yang masih disegel di atas kasurku. Begitu melihatnya, hati kusutku berubah warna-warni, begitu bahagia. Dari situlah, kisahku dimulai.
Karena bukan awal semester baru, aku jadi dicap sebagai anak baru di sekolah. Sekolah ini adalah sekolah desain yang menyediakan program pembelajaran cepat. Aku mengambil sekolah satu semester agar nantinya bisa langsung fokus dengan penyakitku. Dengan wajah sumringah yang tidak bisa aku sembunyikan, aku, dan ibu berkeliling ditemani salah satu guru pembimbing, Ms. Lily. Namanya cantik bukan? Namanya diambil dari nama yang sama sebuah bunga, dengan makna kemurnian. Nama itu sangat cocok dengan kepribadiannya, lembut. Ms. Lily menuntun kami melihat-lihat isi lab komputer, ruang seni, taman, hingga dapur tempat masakan kantin dibuat. Plus, karena sekolah desain ini lebih menjurus pada satu bidang langsung. para murid bebas seragam.
Aku akan mulai mengikuti pembelajaran besok. Sempat tadi aku berdebat hebat dengan Ibu di ruang pertemuan perihal ibu yang ingin ikut tiap kali aku menjalani pembelajaran di sekolah, tapi akhirnya ibu mengalah juga. Memangnya aku anak kecil, daripada ditemani di sekolah, beri saja aku uang jajan yang banyak, haha. Pembelajaran yang aku ambil seminggu tiga kali, hari selasa, rabu, dan kamis dengan guru pembimbingnya, Mr. Yohing. Namanya konyol sekali, pas dengan figurnya yang tidak dewasa. Aku pilih kelas itu karena beliau tidak akan terlalu ketat jika dilihat dari kepribadiannya.