Harsa

Amalia Zahra
Chapter #3

Chapter 3: Jenggama

Bayangkan kalian punya trauma masa kecil dimana yang terlihat cuma darah, dan rasa benci, itu masa laluku. Menjadi putra bungsu dari keluarga yang tidak pernah bisa mendekati kata harmonis. Ayahku adalah CEO perusahaan startup yang punya kebiasaan mabuk, dan main perempuan. Ayah adalah orang yang dianggap paling berkuasa dimanapun kakinya sudah menyentuh permukaan. Ia diundang banyak acara-acara bergengsi untuk perusahaan pengembang aplikasi di negeri ini. Ibuku adalah wanita yang cantik, tulus, dan setia di masa lalu. Kini ia merasa seperti wanita paling terhina yang digunakan suaminya sebagai robot baik hati, dan penurut yang tidak punya kuasa atas dirinya. Kakak laki-lakiku, kak Aditya adalah anak laki-laki paling sempurna dalam pandanganku, ia adalah kakak yang dengan begitu baik menggantikan peran orang tua bagi diriku. Tapi selalu di jalan yang begitu terang yang ditunjukkannya, aku melihat titik hitam. Ia juga putra ayah, entah apa yang aku harapkan. Kak Aditya ditangkap kepolisian karena penyalahgunaan obat, dan prostitusi massal pada teman sekolahnya. Satu-persatu orang-orang yang aku panggil keluarga menjauh, dan menghilang. Entah kenapa, di titik itu aku tidak merasa sedih, justru perasaan lega mengisi hatiku yang kosong. Tepat saat usiaku tujuh tahun, malam berbintang yang begitu aku kagumi menampakkan pesona lain yang terekam jelas di ingatanku. Kaki indah ibu mengambang setinggi kepalaku, bau darah yang berjatuhan ke atas lantai, dan wajahnya yang pucat, aku mengingat semuanya. Hati kecilku yang tidak memiliki emosi tidak bisa mencerna apa yang terjadi, hanya bisa berlarian keluar, dan berteriak meminta seseorang mengeceknya. Ibu yang malang, begitu kesakitan hingga melakukan hal diluar kendali jernih pikirannya. Setelah kejadian malam itu, orang yang bisa kupanggil keluarga sudah sepenuhnya menghilang. Beruntung, Bibi Eva, adik perempuan ibu bersedia menampung diriku yang kumal, dan kesepian saat itu. 

Keluarga mereka begitu sederhana, dan hangat. Selalu menyenangkan untuk duduk bersama, dan menyantap masakan yang dimasak bibi sepenuh hati. Kami sering mengirim candaan, bahwa bibi adalah seorang koki untuk rumah yang kami tinggali, jadi ada banyak tawa di meja makan setiap harinya. Hari-hari yang selalu dinantikan anak lelaki tanpa emosi, dan kasih sayang itu datang setelah ia benar-benar sudah tidak bisa merasakan apapun lagi. Merekalah yang mengajarkan rasa-rasa itu padaku, menjadikan pribadiku menjadi lelaki yang sopan, dan hangat. Setiap hari rasanya seperti surga dunia bagiku, mungkin juga bagi mereka. Tapi malam itu, aku menyadari sesuatu yang lebih penting. Tengah malam saat aku ada di sekolah menengah pertama, aku terbangun karena dehidrasi saat tidur. Rumah sedikit sepi, karena paman sedang pergi di dinasnya di Kalimantan. Lampu kamar tidur bibi masih menyala, memberikan garis cahaya lurus diantara gelapnya ruang keluarga, dan dapur. Aku berjalan mendekati kamarnya untuk membantu mematikan lampunya, tapi suara percakapan bibi menghentikan langkahku yang begitu dekat dengan kamarnya.

“..aduh, mas, apa kita nggak bisa cari saudara kamu yang lain buat nampung dia, dan kasih dia makan? Kita udah nampung dia hampir lima tahun, sekarang kita udah kehabisan dana, bapaknya juga nggak ada kabar, kakaknya di sel. Aku aja sekarang gak bisa beliin baju buat anak kita, tapi harus beliin seragam, dan kasih makan anak orang, kalo gini, aku bisa mati berdiri juga, kayak ibunya..” Suara yang aku dengar ini seharusnya tidak terdengar begitu mengerikan, Suara bibi adalah suara wanita yang sangat menenangkan, seperti suara pertama yang dibisikkan di sebelah telinga bayi setelah ia dilahirkan. Tapi, jelas-jelas suara itu kini tidak sebaik yang aku kira. Aku berjalan kembali ke kamar dimana aku tidur berdua dengan Darma, anak kandung paman, dan bibi. Aku mencoba memberi waktu pada pikiranku untuk mencerna, tapi yang kutemukan hanya rasa kecewa. 

Paman, dan bibi adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkan tubuhku yang sedikit demi sedikit hancur mendebu. Tubuh yang kehausan dengan kasih sayang, tubuh dingin yang mendamba kehangatan, itulah diriku di masa lalu. Ada saat dimana malaikat itu harus pergi menjauh dari si tubuh bodoh, dan terbang bersama bebas milik mereka sendiri. Aku mengerti, sangat mengerti. Keesokan sorenya sepulang sekolah, karena kejadian tadi malam, terasa berat untuk melangkah pulang. Pulang? Selain kehilangan keluarga, aku juga kehilangan kata itu. Aku hanya duduk tanpa rencana di atas bangku taman, suasana sore yang tenang, dan damai memaksaku untuk memejamkan mata sebentar. Tidak lama, pemandangan langit yang biru berubah menjadi hitam, pandanganku ditutupi oleh mimpi. Seseorang mencolek-colek bahuku membuatku sadar kembali, tapi langitnya sudah gelap. Ternyata seorang wanita muda dengan banyak anak-anak yang lebih kecil dariku di belakangnya membangunkanku dari tidur. Sudah berapa lama aku ketiduran?

“Kok tidur disini?” Tanyanya dengan suara lembut yang begitu tidak familiar di telingaku. Aku membetulkan posisi dudukku, dan mencerna. Ia mendekat, dan duduk di sisa kursi di sebelahku. Anak-anak yang ikut bersamanya berlarian dengan riang. Wanita ini masih sangat muda, tapi anaknya banyak sekali. Ia memandang wajahku lagi, masih menunggu jawaban.

“Saya..cuma capek aja.” Jawabku singkat, juga sedang tidak begitu dalam tahap untuk menjadi ramah pada orang lain. Wanita itu tersenyum.

“Yuk, kakak anter pulang ke rumah, udah malem. Bahaya kalau pulang sendirian.” Ajaknya ramah. Pikiranku menyempit, mencoba menemukan jawabannya. Tapi sekeras apapun aku mencarinya, aku tidak menemukannya. Jalan pulang. Pandanganku kosong, begitu juga isi pikiranku. Ia dengan sabarnya menunggu aku berpikir. Akhirnya, di ujung jalanan kosong pikiranku, aku memberanikan diri untuk memberitahukannya dengan lantang.

“Saya,..tidak punya jalan pulang.” Pada awalnya, wajahnya tampak bingung, tapi setelahnya ia hanya tersenyum. Jauh dari ekspektasiku, dia tersenyum.

“Kalo gitu, kamu mau ikut ke jalan pulangnya kakak, nggak?” Mataku membulat. Seperti mimpi yang sampai di siang bolong, hanya datang saja tanpa kuminta. Tatapan yang hangat, dan kata-kata lembut yang menggugah, itu dia. Jika kehidupanku di rumah bibi adalah surga, aku tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaan ini. Tanpa sadar, kepalaku mengangguk-angguk dengan sendirinya. Diulurkannya tangan lembutnya padaku, jadi kutangkap dengan sepenuh hati.

Dia, kak Utami, malaikatku. Salah satu wanita pekerja rumah yatim piatu di kota kami, Rumah bahagia. Bukannya melebih-lebihkan, tapi nama itu memang cocok sekali. Ada lima belas anak-anak dalam gedung ini termasuk diriku, disinilah kami menemukan arti dari kata itu, secara keseluruhan. Aku adalah anak pertama di keluarga besar kami, artinya aku yang paling tua diantara yang lain. Aku juga asisten para pekerja, membantu apa saja. Setelah kejadian hari itu, aku sempat bertemu paman, bibi, dan Darma untuk mengucapkan terimakasih, dan janjiku. Aku berjanji akan mengganti semua yang mereka berikan, saat aku mengatakannya, mata mereka terbelalak hampir keluar. Mereka pasti menganggapku anak kurang ajar yang tidak tahu malu, tapi untuk sekali saja dalam hidupku yang penuh dengan ketidaksempurnaan ini, aku ingin memperjuangkan diriku sendiri. Meski begitu, mereka merasa tidak masalah dengan keputusan yang kubuat. Memang sudah jelas. 

Aku sekolah dengan biaya bantuan yang diberikan pihak swasta di atas yayasan kami untuk tempat ini. Kesibukanku sehari-harinya juga sangat sederhana, aku belajar, memasak untuk  makan siang, dan makan malam, membersihkan kamar adik-adikku, membawa bantuan makanan ke rumah sakit, mandi, makan, dan tidur. Seperti tanda daur ulang di bawah botol air mineral, begitulah kehidupanku dua tahun di rumah bahagia. Di tahun ketiga sekolah menengahku, akhirnya aku menemukan hal yang benar-benar membuatku tertarik, dan bersemangat. Aku bukan orang yang terbiasa menyampaikan perasaanku dengan berbicara, lebih baik jika aku menggambarkannya lewat gambar. Aku tertarik dengan ilustrasi, dan desain. Menarik bagaimana gambar yang terlihat sederhana itu punya arti di setiap garisnya, yang juga saling melengkapi. Aku juga sudah memberitahukannya pada kakak-kakakku, dan mereka juga setuju.

“Ya jelas kita setuju, gambar kamu tuh bagus banget, harus disalurin bakatnya.” Ini jawaban yang aku dengar dari kak Utami. Bicara tentang dirinya, akhir bulan Januari di tahun ketiga SMPku, aku sempat mencoba untuk menyampaikan perasaan padanya. Aku yang polos, dan buta tentang perasaan ini dengan malu-malu menyampaikannya, mencoba untuk menjadi pria jantan untuk pertama kalinya. Kak Utami saat itu hanya terkikik, lalu mengusap kepalaku.

“Kamu ini kenapa, sih? Mana bisa kamu sama kakak, kamu ‘kan anak kecil. Lagian, kakak udah mau nikah.” Jelas saja, mendengar itu tidak ada rasa sakit atau kecewa di dadaku, sudah kubilang, aku ini bodoh juga buta emosi.

Lihat selengkapnya