Aku akan memulai babak baru dalam hidupku. Babak baru yang aku sebutkan juga masih belum aku mengerti apa maksudnya. Tapi, sedikit demi sedikit hidupku berubah, entah ke arah yang mana, intinya ini tidak memberi hatiku untuk istirahat, ia terus saja merasa gembira. Tapi aku ingin menjalaninya perlahan saja, karena waktu yang sudah tidak lagi banyak, akan aku nikmati tiap detiknya. Alline bengong melihatku minum obatku yang ketiga kalinya hari ini.
“Eh, lo nggak bakal overdosis, ‘kan?” Tanya Alline konyol, karena pertanyaan yang ia lontarkan, aku hampir tersedak obatku sendiri. Aku menutup mulut menahan tubuhku untuk memuntahkan lagi obat yang sudah kuminum sambil menahan tawa.
“Ya nggaklah, emang dokternya psikopat apa?!” Jawabku sembari mengelap bibirku dengan tissue. Alline, dan aku tertawa bersamaan. Kami hari ini lumayan senggang karena sepertinya kak Diandra mengambil kelas yang berbeda. Kalau tidak ada dia, kela rasanya damai sekali. Tiba-tiba pintu kelas kami digedor kelas dari luar, untung saja sedang tidak ada guru. Sebenarnya apa yang orang itu pikirkan? Kaki mulus panjang berjalan masuk ke dalam kelas kami dengan gayanya tengil, seperti karakter antagonis kaya raya di drama korea. Itu kak Diandra. Seluruh laki-laki di kelas jadi ribut karena kedatangannya.
“Diem lu pada!!” Bentaknya menghentikan keseluruhan kelas yang menaruh perhatian pada dirinya. Bola matanya yang ditutupi dengan kontak lens memutari ruangan, seperti guru pembimbing ujian kelulusan di kelas anak-anak berpangkat rendah. Aku, dan Alline mulai merasa ngeri dengan sikapnya.
“Gue lagi nyari orang.” Lanjutnya tiba-tiba. Kelas masih saja hening. Semuanya hanya diam, tanpa suara. Seperti para rakyat jelata yang mematuhi sang ratu. Aku juga ikut-ikutan diam, dan tidak bersuara. “Ketemu.” Ujarnya pelan. Dia mengacungkan jarinya lurus ke batang hidungku. Aku yang tidak tahu menahu jadi kebingungan, dan kikuk sendiri. Semua orang di kela melihat kepadaku, membuatku tambah gugup saja. Alline menendang-nendang kakiku, mengisyaratkan ‘apa yang sebenarnya terjadi?’. Tapi andai bia aku jawab, aku juga tidak tahu ada apa. Kak Diandra memberiku sinyal untuk mengikutinya. Wajahnya yang congkak, dan gerakan tubuhnya saat berjalan menjauh adalah hal yang menakutkan. Aku bisa-bisa kencing di celana.
Aku hanya bisa mengikutinya pelan-pelan dari belakang. Kami berhenti di taman belakang sekolah. Tempat melakukan praktek gambar, atau acara santai setelah pembelajaran panjang. Mata orang-orang di jendela-jendela kelas menambah beban di pundakku dua kali lipat. Langkahnya tiba-tiba terhenti di bawah rindangnya pohon di atas kepalanya. Menghalangi matahari merusak riasan wajahnya yang dipolesnya sempurna. Tapi ia tak menyisakan tempat untuk diriku di bawah pohon itu, jadi sinar matahari dengan kuat menerpa tubuhku.
“Kalo diliat-liat lo emang lumayan juga, si.” Ujarnya memulai obrolan, matanya menganalisa tubuhku dari atas hingga bawah. Aku tidak punya kata yang bisa aku gunakan untuk menjawab kata-kata itu, jadi aku hanya tersenyum kikuk saja.
“...tadi pagi gue liat lo bicara sama Abi, lo siapanya dia?” Tanyanya lebih lanjut. Aku terkaget, ternyata tentang kak Abi. Aku mencoba merangkai kata dalam pikiranku, hanya untuk bisa menjawabnya. Teman lama? Teman saja? Kenalan? Permulaan…?. Aku tidak tahu kata yang tepat. Kak Diandra masih menahan pandangannya padaku. Pikiranku campur aduk antara jawaban yang ingin aku lontarkan, dan pertanyaan yang janggal, kenapa keduanya saling mengenal? Karena sudah terlalu lama, dia melanjutkan hipotesisnya.
“Kalo lo bilang saudara, gak mungkin. Gue tahu banget Abi, dia nggak punya sodara. Lagian nggak mirip juga.” Aku yang tadinya serius memikirkan jawabannya jadi malas untuk menjawab. Pernyataannya tidak masuk juga di akalku. Siapa juga yang mau mengaku-ngaku saudaranya, dasar senior aneh.
“Bukan, kak. Cuma kenalan aja.” Jawabku. Wajahnya yang semula congkak seperti mengatakan ‘oh, temen doang.’ Ia memutar bola matanya.
“Tadi pagi dia ada urusan apa sama lo?” Aku tidak berpikir harus memberitahunya soal hal ini. Kak Diandra memang seniorku, tapi bukan berarti dia bisa begini. Mata kami saling bertatapan, penuh kebencian.
“Dia minta nomor lo, ya? Blok.” Lanjutnya lagi. Aku mengernyitkan dahi. Aku tahu dia salah, tapi aku tidak ada keberanian untuk mengatakan tidak padanya. Aku hanya bisa memasang wajah kebingungan. Kak Diandra memasang tangan terbukanya di depan mukaku.
“Siniin hape lo.” Aku menatapnya, dan memberanikan diri untuk melawan. Karena tidak ingin jadi kasar, aku hanya bisa menggeleng-geleng saja. Kak Diandra menghela nafasnya dalam. “Siniin gak!” Sekarang suaranya meninggi. Aku tetap bersikeras untuk tidak memberikannya. Sepertinya ia mulai hilang sabar.