Diandra berarti keanggunan, nama yang sangat cocok mencerminkan diriku, dan segala luxury yang aku seret bersamanya. Bukan tanpa alasan, aku adalah anak semata wayang konglomerat pemilik perusahaan pertambangan minyak, dan batu bara ternama di negeri ini, setidaknya lihatlah diriku begitu. Aku tumbuh, dan dibesarkan bak seseorang dalam negeri dongeng. Dengan segala ia miliki, Ibuku adalah orang tua tunggal yang keras, berpendidikan, dan sangat berpendirian teguh. Ayah sudah pergi mendahuluinya empat bulan sebelum aku bisa bernafas. Di mataku sebagai putrinya, ia adalah elang di ujung bebatuan yang siap terbang dengan segala yang ada padanya siap untuk berangkat. Di sisi lain, aku adalah burung kecil yang baru saja mengetuk telur dengan paruhnya, membuka cahaya bagi dunia hanya sebatas paruhnya, tapi masih ketakutan untuk bisa melanjutkannya. Seperti yang aku bilang, aku dibesarkan seperti gadis dalam buku dongeng, aku seorang Cinderella yang cantik, dan dicintai, tapi berbeda dengannya, aku tidak punya ibu peri, atau sepatu kaca. Hanya diriku, dan sang ibu tiri. Karena pendiriannya yang keras, ibuku membesarkanku bukan hanya dengan hatinya, tapi juga dengan kekuatan, dan kekuasaannya atas diriku.
Aku dilahirkan untuk mengikuti apa yang sudah ia gariskan pada jalur kehidupanku yang bahkan belum aku lewati. Kesempurnaan adalah kata yang ia cari-cari dalam kamusku. Yang aku bahkan tidak yakin itu tertulis disana. Semenjak usiaku empat tahun, aku mengikuti banyak sekali kursus-kursus mulai dari seni hingga bela diri, tidak ada satu hari pun tanpa jadwal kursus di usia yang begitu muda. Meski begitu ada yang salah dengan diriku, sudah digembleng begitu keras pun, aku tidak pernah sanggup melakukan semuanya dengan kesempurnaan itu. Maka jika kata-kata, dan perintahnya sudah tidak bermakna, maka tangan, dan Kakinya lah yang berbicara. Aku memang punya tubuh yang indah, dengan lekukan sempurna, dan Kaki yang jenjang, tapi tidak ada satu pun yang bisa aku banggakan. Tidak ada satu pun yang bisa aku tunjukkan, semuanya tertutup memar biru, dan ungu menandai amarah, dan kekecewaannya pada putrinya yang bodoh ini.
Ibuku mendidikku untuk menjadi putri yang berkuasa, bukan anak burung yang buta akan induknya. Aku harus dapatkan apa yang aku inginkan, dan menduduki dunia seolah itu milikku, karena begitulah ibuku hidup, dan bertahan dengan segalanya. Ibu menjadi orang tua tunggal sedari lama sekali, ayah, orang yang dicintainya meninggal karena kecelakaan yang ia alami. Keluarga ayah tidak pernah cukup baik untuk menerima kami sebagai anggota keluarga mereka, dan membiarkan aku dan ibu tanpa kepala keluarga bergantungan kesana-kemari. Ibuku yang cerdas, dan kuat menjual rumah lama kami, dan meminjam pinjaman dari bank membangun bisnisnya dari kecil hingga sebesar ini. Penolakan itu berbekas pada hatinya, meninggalkan dendam yang tidak diinginkannya terjadi padaku. Karena itulah, aku mencoba memahaminya, dan terus mengikuti langkahnya.
Di usiaku yang sudah mendekati remaja pun, aku tidak bisa seenaknya pergi dari rumah, dan pergi bermain dengan anak-anak lain, masih ada banyak yang harus aku pelajari. Ibu tidak hanya mengajariku tentang musik, olahraga, beladiri, dan hal-hal keterampilan itu, tapi juga pakaian yang seharusnya aku pakai. Apa yang harus aku pakai agar aku tidak dirundung, dan dibenci. Semua dibawah kendalinya, aku hanyalah robot cantiknya yang penurut. Kemarin, setelah aku mengambil kelas piano, nilai harianku keluar, namun tidak cukup baik untuk memuaskan kehendaknya, jadi ia memberiku pelajaran. Rotan, dan tongkat kayu adalah hal yang biasa bagiku, aku sudah mati rasa sekarang. Namun saat itu, memar di tubuhku masih terasa bahkan hingga aku masuk ke sekolah, jadi aku hendak memberi obat pada bagian itu di UKS. Kuoleskan perlahan-lahan mengurangi rasa sakitnya, tiba-tiba pintu terbuka, mata kami bertemu. Dia anak laki-laki culun di kelasku, jarang bicara, dan jarang bermain juga. Tidak heran dia ada disini, jika dia menghilang kemarilah dia pergi, namanya Abi. Dia berbaring di ranjang sebelah ranjangku, aku dengan tatapan tak acuh kembali memberi obat pada memarku, tanpa sadar ia justru memperhatikan.
“Sakit banget, ya?” Tanyanya tiba-tiba. Aku menengok dengan pandanganku yang tajam memberinya pandangan tidak peduli.
“Apa peduli lo?” Ucapku ketus, Abian menatap wajahku dengan tatapan matanya yang sayu. Aku diam, tidak bereaksi. Abian terkekeh, aku menengok kepadanya dengan raut wajah heran. Apa yang lucu?
“Kenapa ketawa? Lo ngetawain gue, ya?!” Ujarku setengah berteriak. Abian tersenyum padaku, memberikan sedikit cahaya pada wajahnya yang kumal.
“Iya. Gimana dong?” Jawabnya tanpa takut. Aku melihatnya heran, pertama kalinya orang memberiku senyum yang tulus seperti itu, juga tatapan yang mencerminkan betapa jernih pemikirannya. Mendengar kata-katanya yang terus terang begini, meluluhkan sedikit es dalam hatiku.
“Kalo lo memar kayak gini, nggak bisa lo kasih obat merah, harus dikompres pake es.” Lanjutnya menjelaskan. Aku terhentak, dan bergegas menaruh obat merah kembali ke dalam lemarinya. Di belakang, ia masih nyengir-nyengir. Aku cuma diam tidak berkutik padanya, kami terbaring di ranjang yang bersebelahan, dengan suasana yang canggung.
“...makasih!” Aku mencoba bersikap sopan, dan angkuh di saat yang bersamaan. Abi tersenyum. Ia menghela nafas, kemudian melihat ke arahku.
“Siapa yang ngelakuin itu ke elo?” Tanyanya membuka percakapan. Aku tidak ingin bicara dengan sembarang orang seperti dia, karena yang dia pasti hanya akan menjelek-jelekkan ibuku. “Pasti sakit, mau gue ambilin es?”
“Ah, lo kenapa sih? Sok kenal banget!” Bentakku padanya. Ia kembali menatapku dengan ekspresi datarnya yang menyebalkan.
“Karena lo kesakitan, lo kesakitan gara-gara itu, gue cuma mau bantu denger. Seenggaknya, sakit lo bakal ilang sedikit demi sedikit.” Jawabnya tanpa ekspresi yang bisa aku jelaskan. Aku kembali terbaring, kemudian kuputar kepalaku mengarah padanya. Entah apa yang sedang aku lakukan, tapi yang pasti aku ingin rasa sakitku berkurang. Kami menghabiskan waktu kami hingga seluruh sekolah kosong, dan senja datang. Sebentar lagi, supir ibu akan menjemputku. Wajahku sembab bekas menangis saat bercerita pada Abi tadi. Benar katanya, sakit yang aku rasakan berkurang bersamaan dengan omelan yang aku keluarkan. Dia ada disana, mendengarkanku tanpa suara, menyodorkanku tissue ketika air mataku mulai jatuh, dan menemaniku hingga mobilku datang.
Entah apa yang terjadi saat itu, seperti mantra, kata-katanya melunakkan pribadiku yang angkuh, dan Kaku menjadi lemah tanpa daya. Pikirku saat pulang di hari itu, kurang ajar juga si Abi itu, rasanya aku sudah dihipnotis. Meski dengan pikiran yang tetap saja picik, senyumku mengembang lebar. Hari-hari di sekolah setelah pertemuan kami tetap sama saja, tidak ada yang berubah. Kami tidak saling menyapa atau berbicara. Terkadang aku hanya memperhatikannya dari jauh, tapi tidak berani mendekatinya.
“Diandra.” Panggil Tias, teman sebangkuku. Kami akrab, dia dapat bertoleransi dengan sikapku yang keras makanya kami jadi dekat. Aku menengok padanya, dan mengangkat alisku, isyarat aku mengatakan ‘kenapa?’
“Gue, gue kayaknya suka deh sama Abi.” Ujar Tias kegirangan. Aku tidak begitu ingat perasaanku waktu ia mengatakan itu, yang jelas aku hanya diam, dan tidak menjawab. Kedua teman kami di bangku belakang mendengarnya juga ikut heboh, membuat bangku kami berempat tempat paling berisik di kelas.
“Ti, mending jangan deh. Sama yang lain aja.” Ujar salah satunya dengan tangan yang disapu ke udara. Aku setengah mendengarkan dan setengah tidak peduli dengan gosip mereka. “Yah, emang kenapa? Lo suka juga, ya?”
“Enak aja, bukan gitu. Gue denger, dia dari keluarga nggak bener. Terus, sekarang dia numpang di rumah Darma.” Mendengar kalimat ini, aku yang semula tidak tertarik memutar badan, menaruh perhatianku pada rumpian mereka.
“Hah? Masa sih..?” Mata Tias membulat, setengahnya ia tutupi dengan tangannya.