Harsa

Amalia Zahra
Chapter #6

Chapter 6: Closer

Malam itu, entah karena insomnia, atau perasaanku yang senang bukan main, tubuhku menolak untuk memejamkan mata. Sehabis melakukan check  up mingguan, dan meminum obat yang baru diberikan dokter Septian, aku segera kembali berbalas pesan dengan Kak Abi. Tentu saja ajakannya untuk pergi bersama ke garage sale tidak bisa kutolak, bisa jadi ini adalah kesempatanku untuk memperluas kehidupan sosialku yang singkat, dan ajang mengenal sosok Kak Abi lebih dekat. Untuk masalah ini, aku belum mendiskusikannya dengan Ibu. Ia masih berbicara dengan Dokter Septian di ruang tamu, wajahnya kini tampak lebih tegar dibanding pertemuan terakhir kami dengan Dokter Septian di rumah sakit. Syukurlah, aku tidak ingin ibu membebani pikiran, dan tubuhnya terus-menerus karena masalahku, sekarang ia terlihat seperti wanita kuat yang aku kenal selama ini. Kalau aku lihat dari ekspresi Dokter Septian setelah mengecek keadaan tubuhku, tatapannya linglung, dan desahan nafasnya yang berat, aku bisa tahu, obat yang selama ini diberikannya tidak akan menambah banyak waktu harapan hidupku. Terkadang sakitnya memang tidak terlihat, tapi bersamaan dengan waktu yang berjalan, aku mudah kehilangan nafas, dan juga jatuh karena kelelahan. Seperti yang ibu takutkan, kegiatan sekolah, memang tidak cocok untuk orang yang sekarat.

Begitu Dokter Septian berpamitan, dan pergi meninggalkan rumah kami, Ibu hanya duduk tertegun di kursi dengan tatapan kosong menatap tangannya yang terkepal diatas pangkuannya yang kaku. Aku mendekatinya, berjongkok di hadapannya, dan menggenggam tangannya erat-erat.

“Fay nggak akan gimana-gimana kok, bu.” Matanya yang kosong beralih ceria begitu mata kami bertemu. Aku bangkit, dan duduk di sofa depannya, mencoba untuk mencairkan suasana dingin ini. Aku akan coba tanyakan perihal acara garage sale besok padanya, mungkin tidak akan membantu, tapi setidaknya pikiran ibu bisa terbangun. “Bu..” Panggilku, Ibu menaikkan alisnya, dan tersenyum tanda ia mendengarkan.

“Temen Fay ada yang bikin garage sale, Fay mau ikut. Boleh nggak, bu?” Ibu mengalihkan pandangannya sebentar, mengumpulkan informasi, dan mencernanya, kemudian berbalik. Ia mengangguk-angguk. Aku yang kegirangan langsung melompat dari sofa hendak memeluknya. “...tapi ada syaratnya.” Lanjut ibu-ibu tiba-tiba, tubuhku yang bersemangat tersentak, dan berhenti di tempat.

“Ibu harus ikut.” Tubuhku melemas.

“Memangnya Fay anak kecil, bu? Fay bisa pergi sendiri.” Tolakku sehalus mungkin. 

“Jangan geer, ibu ikut karena mau sumbangin barang-barang ibu, bukan gara-gara kamu.” Ibu berdiri, dan berlalu ke kamarnya dengan wajahnya yang terkesan menggodaku, namun terlihat kaku. Aku menatapnya heran, tingkahnya kekanakan sekali. Tak apalah, bukan jadi masalah aku pergi dengan siapa, asal bisa memenuhi janjiku dengan Kak Abi. Aku kembali berhadapan dengan layar teleponku, dan pesan Kak Abi yang bertanya-tanya tentang kehadiranku, yang bisa aku balas dengan mantap sekarang. Di malam itu, rasanya aku bisa tidur lebih baik dari malam-malam lainnya, mungkin karena hatiku yang tak pernah sebahagia ini sebelumnya.

Keesokan harinya, aku bangun dari tidur dengan tubuh yang sangat ringan, disambut kicauan burung, dan cahaya mentari yang menapaku dari balik gorden. Aku bergegas turun, hendak sarapan bersama kedua orang tuaku. Begitu kulihat, hanya ada ayah di meja makan kami.

“Ayah, ibu mana?” Tanyaku.

“Ah..ibu di kamar mandi.” Jawab Ayah ragu-ragu. Apa ini? Suasana canggung apa ini? Aku mengiyakan, kemudian berlalu ke kamar mandi. Pintu kamar mandi masih tertutup rapat dengan suara keran yang menyala keras. Apa yang dilakukan ibu di dalam? Aku hanya bisa menunggu di depan sambil menyandarkan tubuhku di dinding. Tak lama, pintunya terbuka. Hal pertama yang kulihat adalah mata ibu yang bengkak, dan wajahnya yang lesu. Aku tergagap, tak sanggup berkata apa-apa. Ibu hanya bisa menutupi wajahnya dengan tangannya, menyembunyikan perasaannya yang hancur. Lagi-lagi, aku pikir semalam kita bersepakat untuk melupakannya, tapi masih terasa berat baginya. Pandanganku tertancap ke bawah, tidak sanggup menatapnya. Ibu membuka tangannya, hendak berlalu tanpa kata.

“Bu.” Langkah kakinya langsung terhenti begitu aku membuka suara. Ia berdiri di tempat, tidak menangis, atau menghadapiku, dia hanya diam di tempat, begitu halnya denganku, aku tak sanggup menghadapinya, tapi akan tetap kusampaikan.

“Ibu tahu ‘kan Fay benci sakit?” Tanyaku. Wajahnya akhirnya menatap ke arahku, aku menegakkan kepalaku, dan menatapnya mantap.

“Tapi ibu tahu? Fay lebih benci liat mata ibu yang bengkak karena sakit itu.” Pandangannya yang tegas seketika dibanjiri air matanya. Lututnya jatuh ke permukaan ubin seakan tak kuat menopang tubuh Ibu yang kurus, dan lemah itu. Aku mengambil langkah, mendekatinya, memeluk erat tubuhnya yang bergetar, dan berbisik pelan di telinganya, “Fay benci yang begini.” Pagi itu seperti akhir menyedihkan dari pertunjukan yang dipertontonkan di panggung teater keluarga, merasakannya sendiri ternyata jauh lebih berat dibanding apa yang diperlihatkan.

Sarapan pagi kami dihiasi dengan suasana sunyi, dan roti tawar berselai. Pagi yang menyedihkan. Meski begitu, detik ini pasti berlalu. Aku, dan ibu tetap bersiap untuk pergi ke garage sale rumah bahagia. Kami mengemasi barang-barang bagus yang sudah tidak lagi kami pakai di rumah. Aku baru tahu, letak yayasan rumah bahagia berdekatan dengan rumah sakit tempatku dirawat, seperti takdir saja. Kami pergi diantar mobil ayah, namun ia hanya mengantar saja, tidak bisa bergabung karena sibuk dengan pekerjaan di firma tempatnya bekerja. Begitu sampai, aku sudah bisa melihat atap rumah sakit dengan jelas dari sini. Rumah Bahagia adalah tempat yang menarik.

“Temen kamu mana?” Tanya Ibu sembari membenahi riasannya. “Sebentar.” Aku segera mengirimkan pesan pada Kak Abi untuk menjemput kami di gerbang. Tiga menit lamanya aku, dan ibu berdiri linglung menunggu kedatangannya, akhirnya kaki panjangnya mendekat bersamaan dengan nafasnya yang masih terengah-engah, kelelahan karena berlari kemari. Begitu mata kami bertemu, kami saling bertukar senyum. 

Lihat selengkapnya