Semenjak sebulan lalu, nama Kak Abi selalu menjadi nama pertama yang aku lihat begitu membuka daftar panggilan, menggantikan ayah, dan ibuku. Tidak heran, kami sering sekali berbalas pesan, bahkan saling menelpon untuk hal-hal yang sebenarnya tidak begitu perlu untuk dibahas, mulai dari alur film yang kami sukai, sampai meninggalnya anjing tetanggaku. Selalu menyenangkan berbagi kisah dengannya, karena dia adalah pendengar yang baik. Meski rasa bahagia dalam babak pertemananku sebenarnya tidak semulus itu juga. Selalu saja ada kerikil kecil, atau bahkan bebatuan yang melintas, atau jatuh di hadapanku. Siapa lagi kalau bukan Kak Diandra. senior angkuh itu selalu saja ikut campur urusan kami, dan membuat batasan diantara kita berdua. Berbeda dengan bulan yang lalu, sekarang ia tak hanya melontarkan gertakan padaku, dia juga membuat candaan kekanakan dengan tujuan membuatku kesal yang justru bagiku adalah hal paling kekanakan, dan paling tidak dewasa yang bisa dilakukan seorang senior pada juniornya. Dia menyembunyikan tasku, atau membuang buku-bukuku, sama sekali tidak terdengar anggun, bukan? Kak Diandra itu seperti sosok polos yang menggunakan topeng congkak di wajahnya untuk menutupi rasa sakit dalam hatinya dengan luka orang lain.
Hari ini kelakuannya pun tidak kalah kekanakannya dengan hari-hari lain, dia meninggalkan catatan kecil dengan spidol bertinta merah tebal bertuliskan: SEKALI GUE LIAT LO JALAN SAMA DIA, ABIS LO! Mungkin dipikirnya, kata-katanya yang ‘menyeramkan’ akan membuatku bergidik ngeri, tapi aku justru sama sekali tidak bergeming dengan hal tidak dewasanya. Di minggu pertamaku sekolah, aku yang polos bahkan tidak bisa menatapnya, tapi sekarang aku bahkan tidak merasa dia adalah seniorku, Tiap kali mata kami bertemu, bola matanya yang cantik membuang pandangan dengan begitu congkaknya. Kami berpapasan di kantin hari ini, Kak Diandra terlalu kreatif, jadi ia berniat memulai taktik baru, dia sengaja menumpahkan jus yang dibelinya di bajuku, dan dengan ekspresi sok cueknya mengalihkan pandangan. “Eh, Sorry..” Ucapnya setelah itu. Dalam pikirannya, dia pasti berpikir kata-katanya yang singkat, dan sikapnya yang tidak sopan akan membuatku naik darah. Tapi karena aktingnya yang sangat buruk, aku sampai tidak bisa marah, aku yakin di dalam hatinya dia merasa sudah melakukan kesalahan.
“Iya, nggak papa, Kak.” Balasku dengan senyum, Kak Diandra memasang wajah tak acuhnya, kemudian berlalu pergi keluar dari kantin. Jika saja aktingnya tadi lebih baik, mungkin aku bisa benar-benar marah tadi.
Rencananya, sepulang sekolah nanti, aku, dan Kak Abi akan menyaksikan pertunjukan teater teman SMAnya, Leo. Tentu saja dengan macam-macam syarat dari ayah, dan ibu. Semenjak Kak Abi mengantarku pulang dari garage sale, orang tuaku membuka tangan mereka sangat lebar untuk kehadiran Kak Abi. Sepulang sekolah nanti, Kak Abi akan menjemputku tepat setelah kelas selesai, aku tidak sabar menantikan waktu itu datang. Kak Abi bercerita padaku, pentas teater sahabatnya disajikan dengan cerita yang dalam, namun kesan yang sederhana, sangat menarik. Benar saja, begitu waktu kelas terakhir berakhir, aku bergegas mengemasi barang-barangku ke dalam tas, dan meninggalkan kelas secepat kilat. Sesuai apa yang aku perkirakan, Kak Abi sudah menunggu di depan gedung, ia mengenakan kemeja hitam oversize dengan pergelangan yang digulung sampai ke lengannya, bersamaan dengan celana jeans panjang berwarna biru gelap. Setelan sederhana itu memancarkan karismanya yang luar biasa menyilaukan, membuat hatiku tidak tenang untuk sesaat. Begitu melihatku datang menghampirinya, kedua tanganya melambai kecil ke arahku dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
“Udah lama ya kak nunggunya?” Tanyaku padanya.
“Nggak lama, baru empat puluh menit.” Jawabnya terkikik. Melihat wajahnya yang ceria mengundang senyum di wajahku.
“Yaudah, yuk. Karena studionya ada di sebelah mall, kita bisa jalan-jalan dulu.” Rasanya seperti ingin pergi ke kencan saja. Ajakannya yang manis diiringi dengan tangannya yang mendekati jemariku, ini kali pertama seorang lelaki akan memegang tanganku, aku jadi bersemangat. Tangannya langsung terhenti begitu suara berat yang cantik memanggil namanya dari kejauhan. Kak Diandra datang di saat yang tidak tepat. “Abi!” Kaki cantiknya berjalan mendekat pada kami dengan senyuman lebar yang jarang diumbarnya. Kak Abi membalas senyumnya dengan senyum yang sama lebarnya.
“Loh? Lo kenal junior gue?” Lihat itu, permainan drama murahannya dimulai lagi. Dia tahu betul kami saling kenal, kenapa pula bertanya begitu?
“Iya, gue kenal sama Fay. Lo berdua deket?” Pertanyaan Kak Abi sontak membuat kepalaku menggeleng keras, tapi tiba-tiba tangan Kak Dindra merangkul leherku, dan mengiyakan pernyataan Kak Abi dengan mantap secara sepihak. Aku menatapnya keheranan.