Harsa

Amalia Zahra
Chapter #8

Chapter 8: Untold Pain

Semenjak ibu mendapatkan perawatan intensif dari dokter, kami tak pernah lagi saling menyapa seperti biasanya. Bentakan ibu yang kasar, dan tangannya yang ringan sudah tidak pernah lagi kurasakan. Aku duduk dengan tatapan kosong menghadap pada secarik kertas lemas yang ada di hadapanku. Paman Fikri berdiri di samping kursi dengan kedua tangannya terlipat gugup di depan tubuhnya. Paman Fikri adalah direktur perusahaan ibu di bagian suku cadang, kami baru saja keluar bersamaan dari kamar ibu, mendiskusikan pemegang tahta presiden direktur baru untuk perusahaannya. Kertas bertuliskan SURAT SERAH JABATAN diberikan ibu mantap padaku sebagai putri tunggalnya. Harapannya agar aku dapat menjalankan perusahaan yang dibangunnya sedari kecil dulu, perusahaan yang membawa kami pada kehidupan bak keluarga kerajaan, dan segala kenyamanan di dalamnya. Ada keraguan dalam dadaku untuk menandatangani kertas itu diatas namaku, bukan hanya karena aku tidak mengerti apapun tentang bidang ini, tapi juga karena aku tidak tertarik untuk memegang jabatan di perusahaan sebesar perusahaan ibu. Setiap detik yang kami habiskan dalam ruangan itu, rasanya benar-benar tegang, tangan Paman Fikri sudah basah oleh keringatnya sendiri, gugup menungguku mengatakan sesuatu. Wajahnya linglung dengan keputusan yang akan kubuat, Paman Fikri adalah pegawai pertama bisnis ibu sebelum menjadi perusahaan besar seperti saat ini, ia juga merupakan bawahan yang sangat ibu percayai, ia adalah orang yang setia,dan jujur, bagaimanapun keputusan ibu pasti akan diterimanya, tapi aku yakin dia juga sangat menginginkan jabatan ini.

"Tolong disimpan dulu, biar saya pikir-pikir lagi." Ucapku sembari mengangkat tubuh dari kursi, dan mulai melangkah keluar.

"Neng Diandra, neng Diandra tahu 'kan kondisi ibu sudah tidak memungkinkan lagi buat memimpin perusahaan, kita butuh pengganti ibu, secepatnya." Balas Paman Fikri sebelum aku benar-benar pergi. Dokter bilang, dengan kondisi jantungnya yang mengkhawatirkan, ibu sudah tidak bisa lagi bekerja seperti semestinya. Bila dipaksakan, akan memicu terbentuknya penyakit lain karena jalannya darah yang tidak seimbang. Sama seperti, aliran darah di kaki kanannya yang tidak cukup kuat dipompa jantung, ia berhenti bergerak, dan akhirnya lumpuh. Andai boleh jujur, aku tidak tahu apa aku senang atau sedih tentang hal ini.

Masalah demi masalah baru bermunculan di hidupku setiap harinya, entah masalah ibu, atau masalah perusahaan. Kini, muncul satu masalah baru. Semenjak Abi banyak menghabiskan waktunya dengan gadis penyakitan itu, kami jarang berkomunikasi, atau bahkan hanya berbalas pesan. Aku biasa membagi masalahku dengannya, tapi sekarang pesanku pun tidak pernah dibalasnya kurang dari lima belas menit. Aku merasa seperti gadis kecil yang kehilangan diary pertamanya, diary yang berharga, dan sangat penting. Kini aku melihatnya tersenyum lebih lebar bersama orang lain, dan melihat matanya yang cantik berkilauan ketika membicarakan orang lain. Aku membenci itu, tidak ada cara yang lain yang bisa terlintas di kepalaku selain melampiaskannya langsung pada gadis itu, jadi aku keluarkan semua rasa sakitku padanya. Semua luka, dan memar yang aku rasakan sedari kecil cukup hanya aku saja yang merasakannya. Karena aku tahu seberapa sakit, dan mengerikannya hal itu, cukup aku saja yang menanggungnya. Aku tidak sampai hati menyakitinya dengan pukulan atau tamparan, aku hanya tidak bisa melakukannya. Aku hanya ingin membuatnya paham seberapa sakitnya diriku ketika dia merebut sesuatu yang berharga itu.

Begitu pun hari ini. Dilihat dari gerak-geriknya yang hyper, dan sangat menggebu-gebu, aku berasumsi Fay akan menemui seseorang yang spesial sepulang kelas. Dan benar saja, Abi sudah menunggunya datang bahkan sebelum jam kelas kami berakhir. Kaki kecilnya berlari ceria menghampiri lelaki berkemeja hitam yang berdiri sendirian di ujung lobi, seperti adegan dalam film. Tapi sayangnya, aku bukan protagonisnya. Awalnya aku tidak ingin mengganggu mereka, namun wajah Ani yang terlewat bahagia saat bersamanya membakar iri dalam hatiku. Jika ingin berterus terang, aku dididik oleh ibuku agar aku menjadi anak yang berkelas, dan tinggi, bisa disimpulkan sebenarnya aku bukanlah orang yang akan mengganggu kencan orang lain. Tapi, aku tegaskan ini bukanlah kencan, dan Abi bukanlah orang lain.

Aku menghampiri mereka santai, menggunakan sedikit kemahiranku dalam bermain peran untuk masuk diantara mereka. 

"Lo berdua mau kemana?" Tanyaku kemudian.

"Leo bikin teater, gue ajak Fay buat nonton bareng." Jujur, di titik ini, aku tidak ingat betul siapa Leo, tapi siapa peduli? Abi kira aku mengenalnya, jadi semua aman terkendali. 

"Leo? Gue udah lama nggak ketemu dia.." Intinya aku harus ada di tengah-tengah mereka. "..gue boleh ikut nggak?" Keduanya saling berpandangan, bermain mata di hadapanku, pemandangan yang sangat menyebalkan.

"Boleh…" Balas Abi kemudian. Hatiku meloncat kegirangan, membawa tanganku melingkari lengannya, dan pergi bersama mereka. 

Berbeda dari siapa yang aku kenal dulu, Abi kini tidak lagi tenang mendengarkan keluh kesahku, atau menenangkan aku dengan kata-katanya yang hangat. Tidak, bahkan sekedar menatap mataku pun tidak. Dia asyik memperhatikan protagonis baru dalam buku dongengnya, gadis penyakitan itu. Seakan segala yang dilakukannya adalah hal yang membahagiakan, matanya berkilauan, dan gerakannya kikuk. Melihatnya berubah, membuatku bahkan tak sanggup menyampaikan satu kata pun dari ribuan hal yang ingin aku bagikan padanya. Sudah aku coba ribuan kali untuk mengerti, apa yang berbeda dari gadis itu, apa yang membuatnya terlihat menawan di mata lelaki ini, tapi tidak kutemukan. Di mataku, dia hanya gadis biasa, yang pucat, dan penyakitan. Ciri-ciri gadis standar.

Meskipun saat berkeliling lengan Abi terus bersamaku, tapi hatinya dititipkan di tangan lain. Pada sesi makan kami pun, bukannya fokus pada apa yang dimakannya, dia hanya fokus pada Fay.

"Fay, kalo lo udah selesai makan, jangan lupa diminum obatnya, ntar gw dimarahin ama Tante." Ucap Abi padanya. Aku menaruh perhatianku pada obat yang dikeluarkannya, luar biasa banyak.

"Gue kira selama ini lo bakal overdoze kalo minum obat sebanyak ini, ternyata lo emang penyakitan toh." Bukannya jahat, aku hanya jujur. Aku mengeluarkan apa yang ada di pikiranku. Abi menyikut lenganku, berbisik dengan wajahnya yang kesal.

Lihat selengkapnya