Harsa

Amalia Zahra
Chapter #9

Chapter 9: Secret

Setelah aku pulang pada malam itu, Ayah, dan Ibu tidak lagi mengizinkanku keluar rumah untuk sementara. Mereka seperti petani yang dibodohi sang penggembala domba, mereka marah, dan ketakutan akan diriku. Aku pulang sendirian di saat aku seharusnya dengan orang lain, dan merasa aman. Sudah begitu, kesehatan tubuh, dan mentalku memburuk setelah malam itu. Aku tidak pernah lagi mematikan lampu kamar tidurku, atau mengunci kamar mandi, rasanya aku takut seseorang akan mengunciku di dalam, dan meninggalkan aku sendirian di dalamnya, seperti saat itu. Semenjak saat itu juga, kepercayaan ayah, dan ibu tentang Kak Abi memudar, mereka tidak mengizinkan aku untuk berbalas pesan, atau mengangkat ponselnya. Meski aku mengerti membiarkan kondisi seperti ini adalah sebuah kesalahan, aku tidak bisa membuat mereka lebih khawatir lagi. Kak Abi tidak bersalah sedikit pun dalam insiden malam itu, dia justru korban yang kami mainkan di belakangnya. Kak Diandra juga, aku tidak pernah melihatnya, seakan ditelan bumi, tidak ada ponsel, atau kabar yang terdengar tentang dirinya di telingaku. Alline sempat berkunjung ke rumah, menjengukku, dia juga sempat  menceritakan perubahan sikap Kak Diandra semenjak kejadian itu. Orang tuaku tidak lagi mengizinkan aku berangkat ke sekolah, takut kejadian sama akan terulang. Aku tidak ingin terlalu memperdulikan Kak Diandra juga, itu membuat dadaku terasa lebih sesak. Alline juga bilang, seberapa sering Kak Abi datang, dan mencariku di kelas, tapi tidak ada yang bisa kulakukan tentang itu. 

Hari ini pun aku hanya duduk di samping jendela kamarku, merenungkan kembali semuanya dalam ingatanku. Mengatur pikiran, dan hatiku untuk berjalan selaras. Belum lama, dokter Septian datang untuk medical check up, dan hasil yang bisa kubaca adalah: tidak adanya banyak perubahan. Mereka bilang, pneumonia jarang sekali dapat disembuhkan, itu hampir mendekati keajaiban. Kedua orang tuaku sudah putus asa, dan kelelahan, jadi aku berpesan pada Dokter Septian untuk tak lagi datang, dan biarkan aku seperti ini. Tubuhku kini jauh lebih lemah dari sebelumnya, aku tidak lagi bisa berlarian seperti yang biasa aku lakukan di rumah sakit, wajahku juga mudah sekali berubah pucat, serta suhu tubuhku yang naik turun. Semuanya terjadi begitu cepat, jadi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku tidak bisa memastikan kapan aku akan benar-benar pergi, jadi aku akan bersiap-siap untuk itu.

Ting! Di tengah meditasi yang tengah aku lakukan, ibu mengetuk pintu kamarku pelan, menarik semua perhatianku pada kedatangannya.

"Alline nelpon nih, sayang." Ucap ibu menyodorkan ponselku. Aku menerimanya dengan tangan terbuka. "Hal…" Suaraku terputus begitu mendengar suara berisik Alline di balik ponsel. 

"Fay, gue harus banget dateng ke rumah lo hari ini. Titik, nggak pake koma, lo available 'kan?" Ucapnya terdengar heboh. "Iya, gue ada." Balasku dengan kepala yang tanpa sadar mengangguk-angguk. Bila didengar dari suaranya yang heboh, pasti ada sesuatu yang luar biasa terjadi di sekolah tadi.

Tak lama setelah ponsel kami terputus, suara Alline nyaring terdengar dari bawah tangga, Kakinya berlarian ke atas, dan berhenti di hadapanku dengan nafasnya yang terengah-engah. Ibu mengikutinya dari belakang dengan segelas air dingin di genggamannya. Alline memberi perhatiannya pada ibu, dan melempar senyumannya hangat. Tak lama setelahnya, ibu keluar kamar meninggalkan kami mengobrol berdua dengan pintu tertutup.

Kini hanya ada kami di kamarku, Alline bergegas menenggak habis airnya, dan menatapku serius. Matanya tajam sekali seperti ingin menusukku.

"Gue ada berita Fay.." Kami berdua saling memandang.

"Lo tahu siapa yang dateng tadi? Cowok lu!!" Lanjutnya cerewet, aku manggut-manggut "...Kak Abi." Ucapku memperjelas.

"Iya, dia….dia tadi dateng, tapi kali ini bukan buat lo, ya ada hubungannya sama lo sih, tapi dia dateng buat si nenek lampir!!" Wajahku yang serius berubah lemas. Kenapa juga Alline memberitahuku tentang hal ini, buat moodku tambah kacau saja.

"Pas kelas selesai, si Abi-abi itu langsung narik tangan Kak Diandra ke belakang, terus bilang gini: 'lo bisa-bisanya boong soal begituan!', mukanya marah banget, Fay..kayak orang pacaran lagi berantem." Mataku membulat. Mereka bertengkar, dan Kak Abi yang memulainya? Itu sama sekali bukan dirinya. Apa ada yang terjadi setelah malam itu?

"Bukan cuma itu, dia juga bilang: 'lo tahu apa yang Fay udah lewatin?!' pake nada tinggi, agak serem gue liatnya." Seperti diterpa badai di siang bolong, tubuhku terhuyung. Aku rasa ini karena masalah di studio kemarin. 

"...tapi aneh, Fay. Kak Diandra cuma diem, sambil nunduk doang, kayak orang yang tahu dia dosa gitu. Nggak dia banget.." Wajah Alline menunjukkan keheranan yang sama seperti yang kurasakan. Alline tidak bisa menceritakan kelanjutan kisahnya, karena guru-guru segera datang untuk membubarkan semua orang dari gedung sekolah. Aku penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, dan mengapa namaku juga ikut terseret. Jangan bilang, Kak Diandra sendiri yang bilang pada Kak Abi tentang insiden kamar mandi. 

Malamnya, pikiranku masih dihujani seribu tanda tanya baru tentang hal ini. Cerita Alline rasanya tidak masuk akal mengingat sifat Kak Diandra, tapi melihatnya heboh membuatku percaya kata-katanya yang gila itu. Tidak, jika terus begini aku bisa terjaga semalaman karena penasaran, aku harus menanyakan hal ini sendiri padanya. Tubuhku menuruni tangga perlahan-lahan, mencoba tidak membuat suara yang bisa mengganggu ayah, dan ibu dari tidurnya. Ibu selalu menyita ponselku di tempat yang sama persis, ponselku selalu ditaruh di dalam laci meja sebelah tempat tidur mereka jadi tidak sulit bagiku untuk mengambilnya. Begitu ponsel sudah ada di tanganku, aku segera berlari kecil menaiki tangga, dan masuk ke dalam kamarku. Aku duduk di sebelah ranjangku, menggenggam erat ponselku dengan kedua tangan. Dari banyak sekali pertanyaan, aku bingung harus memulainya dari mana. Di layar kini sudah tertulis namanya bersamaan dengan isi pesan yang ingin aku mulai. Dengan jari yang bergetar, aku menekan tombol kirim.

Kepada: Kak Abi

Kak, ini Fay. Saya mau tahu kabar Kakak.

Aku menggigiti kukuku, gugup menunggu jawaban Kak Abi. Tak lama, ponselku berbunyi, tanda pesanku yang sudah terbalas.

Kak Abi: Fay, gue baik-baik aja, lo gimana? Sori gue nggak bisa nemuin lo langsung, ada masalah sedikit

Jemariku kembali merangkai kata-kata diatas keyboard, menuliskan rasa ingin tahuku yang sudah tak sabar untuk dikeluarkan.

Kepada: Kak Abi

Maaf, saya lancang, tapi ada masalah apa ya, Kak?

Lihat selengkapnya