Sejak sore kami saat itu di bandara, hari ini bisa dihitung genap sudah seratus hari usia hubungan kami. Untuk merayakan hari yang spesial ini, Kak Abi mengajakku untuk makan malam bersamanya, juga mengunjungi taman hiburan bersama. Selama seratus hari, hubunganku dengan dia bisa dibilang mendekati sempurna. Kubilang mendekati, karena orang tuaku belum sepenuhnya membuka hati mereka untuknya. Selain itu, hubunganku dengan Kak Diandra setelah percakapan terakhir kami menjadi semakin akrab. Dia menjadi seorang murid sekolah fashion yang merayap sebagai selebriti instagram. Bukan main, pengikutnya hampir mendekati 500.000. Kami sering saling berbalas pesan, dan bertanya kabar masing-masing.
Semuanya kelihatan baik-baik saja. Tapi ada satu hal yang tidak pernah berubah sejak awal kisah ini dimulai, penyakitku. Mungkin karena cuaca yang tidak menentu belakangan ini, aku jadi terserang demam sangat cepat, dan sering pingsan tanpa isyarat. Karena kondisi yang mengkhawatirkan ini, sore tadi aku menerima medical check up yang pertama kali setelah sekian lama tidak mendapatkannya. Ekspresi wajah Dokter Septian tidak pernah berubah sama sekali. Setiap beliau menurunkan stetoskop dari telinganya, atau melepas alat untuk mengecek tekanan darahku, ekspresinya selalu sama. Wajah yang penuh kekecewaan. Sebelum ia datang, aku dan ibu sudah berjanji untuk tidak menangisi apapun keadaan yang dokter katakan. Ibu juga berjanji tetap mengizinkanku untuk pergi bertemu Kak Abi apapun yang dokter katakan.
Benar adanya, setelah ibu tidak lagi menangis, atau tersenyum, ia hanya diam. Pasrah, lebih tepatnya. Aku memeluknya erat dari belakang, disambut tangannya yang menepuk-nepuk lenganku lembut. Aku berusaha mengerti perasaannya, mungkin tidak berapa lama lagi, tapi aku ingin dia bebas dari jeratan tali penyakitku yang ditahannya lebih dari sepuluh tahun, aku ingin dia lepas dari itu semua secepatnya. Entah karena aku sembuh, atau sebaliknya.
Kak Abi berjanji akan menjemputku ke rumah hari ini, ia juga akan membawa motor baru yang dibelinya pertama kali dengan uangnya sendiri, uang yang dibangga-banggakannya. Jam di ponselku menunjukkan pukul tujuh kurang dua belas menit, seiringan dengan detik jarum jam, tangan ibu gesit mengemas obat-obatan, dan keperluan-keperluan lain yang mungkin saja aku perlukan dalam tas.
"Inget ya, sayang.. kalo udah lemes, pulang, nggak usah dipaksa." Ini adalah kali kedua puluh ibu mengatakan hal ini dalam satu jam terakhir. Aku manggut-manggut berat. Tapi aku juga mengerti, seberapa khawatir dia akan diriku. Tak lama setelahnya, ponselku berdering membuka layar bertuliskan Kak ABI dengan hati kecil berwarna biru terbuka jelas di depannya. Dia menelepon, yang artinya ia sudah sampai. Aku buru-buru mengambil tas yang ibu kemas, dan mencium tangannya.
"Fay berangkat, bu." Ucapku buru-buru.
"Iya, ati-ati...jangan lari." Bahkan ketika aku sudah berlari menuruni tangga, suara ibu yang bawel masih bisa kudengar jelas.
Lelaki berkemeja hitam panjang menunggu dengan helm yang masih terpasang di kepalanya. Aku keluar perlahan-lahan menjaga riasan yang dipakaikan ibu tetap terjaga, dan terlihat cantik di matanya. Ibu memakaikanku gaun berwarna krem selutut, dan sepatu hak berwarna merah yang cantik. Begitu mata kami bertemu, kami saling berpandangan untuk sesaat. Matanya berbinar memandangi wajahku, dan mulutnya yang ragu-ragu mulai terbuka.
"Cantik." Ucapnya singkat. Kata-katanya yang pendek itu menaikkan antusiasmeku hingga ke ubun-ubun. Cukup dengan satu kata itu, aku bisa menjalani sisa hariku dengan bahagia.
Kami mengelilingi kota dengan motor barunya, dan menikmati pemandangan lampu yang kelap-kelip di malam itu. Untuk saat itu saja, aku ingin dunia berhenti berputar, dan melihat pada kami saja. Kami banyak berbagi kisah, dan menukar tawa, hingga tidak menyadari munculnya rintik-rintik air kecil dari langit yang datang bersamaan dengan bahagia kami.
"Fay, kayaknya ujan deh, neduh dulu, yuk." Pekik Kak Abi kencang. Aku mengangkat tanganku ke udara, merasakan air yang menetes menyentuh kulitku, rasanya sangat asing, . Sudah lama sejak hujan terakhir yang aku rasakan, sejak aku didianosis memiliki penyakit ini, orang tuaku sangat paranoid mengenai perkiraan cuaca, dan kondisi yang aku alami. Aku hanya bisa melihat hujan dari kaca jendela kamarku, berharap bia menembusnya. Lama-kelamaan hujannya semakin deras menerpa kami, Kak Abi masih mencari tempat untuk kami bisa berteduh. Wajahnya panik, khawatir akan terjadi sesuatu denganku. Aku melihat tubuhnya yang mulai tidak tenang dari belakang, kemudian memasang bibirku mendekati telinganya, dan berbisik.
"Aku nggak papa, kok." Sembari memeluk tubuhnya dari belakang. Ia tersenyum, dan menepi ke pinggir jalan, di depan toko-toko yang sudah tidak lagi beroperasi. Tidak kusangka, tubuhku akan basah kuyup bahkan sebelum pergi ke acara makan malamnya. Begitu juga Kak Abi, penampilan kerennya kini sudah ditutupi dengan pakaiannya yang lembab.
"Hahaha, basah semua ya, Kak." Ucapku menggodanya. Ia terkikik.
"Yah, kayaknya kita nggak bisa ke restorannya, deh. Waktu reservasinya udah mau lewat, padahal ujannya gede gini.." Keluh Kak Abi kesal. "...maaf ya, Fay." Lanjutnya. Aku mengambil tisu keluar dari tasku, dan menepuk-nepuk kemejanya yang basah perlahan.