Harsa

Amalia Zahra
Chapter #11

Last Chapter: Harsaku [bagian akhir]

Malam di hari jadi kami yang keseratus adalah malam yang tak akan pernah bisa aku lupakan. Dalam satu malam, kisah cinta kami yang berlangsung manis berubah jadi malam yang sungguh ingin kureset dari ingatanku. Senyum bahagianya, dijadikan sebagai tameng yang digunakannya untuk menutupi rasa sakitnya. Tepat setelah kami selesai makan malam bersama, hanya berjarak lima puluh meter setelahnya, jantungku yang sedang bersenandung berhenti berdegup dalam sekejap. Wajahnya pucat, dan tubuhnya lemah tumbang ke tanah bekas hujan yang basah. Aku tidak menyadari hal itu akan datang, bahkan disaat kami sedang bersama. Seperti orang yang bodoh.

Masih bisa kuingat jelas, gaunnya yang kotor, kulitnya yang dingin, dan nafasnya yang tidak teratur, aku masih bisa mengingatnya. Begitu tubuhnya jatuh, aku berbalik, berhenti sejenak, dan segera berlari mendekapnya. Semuanya terjadi sangat cepat hingga terasa sangat kacau. Tiba-tiba saja aku sudah terduduk Kaku di di lobi rumah sakit. Tanganku gemetaran menelepon orang tuanya. Begitu mereka datang, ibunya jatuh dalam pelukan ayahnya. Menangis sejadi-jadinya, tanpa melihatku sedikitpun. Rasanya ada rasa lega dalam hatiku. ketika tak berapa lama setelahnya, dokter bilang Fay sudah siuman dari pingsannya. Tentu saja hatiku bahagia, namun apa aku berhak merasa begini untuknya sekarang? Ayah Fay berlari kegirangan masuk ke ruang rawat putrinya. Aku hanya terduduk di pojok lobi dengan pandangan kosong. Ibunya mendekatiku perlahan, membawa senyumnya yang lembut ke hadapanku, dan mengusap kepalaku. Akan lebih baik jika beliau langsung menamparku saja. Amanah yang diberikannya sekali lagi sudah kupatahkan.

"Nak Abi tahu, Fay paling nggak suka liat orang yang dia sayang terpuruk kayak gini, yuk kita ke dalem bareng.." Tanpa sadar, air mataku mengalir ke pipiku perlahan. Membasahi kemeja hitamku yang lusuh.

"Maafin abi, tante..Maafin abi." Ucapku dengan suara kencang, dan kepala yang tertunduk. Rasanya aku ingin bersujud di hadapannya sekarang. Dengan segala rasa tulusku, ia hanya menatapku, memegangi kedua pipiku, dan mengusap air mataku pergi.

"Bukan salah nak Abi…" Aku menghadap wajahnya yang tegar.

"Fay tahu betul dia lagi nggak baik-baik saja sekarang, tapi karena nak Abi… dia bisa senyum diatas kenyataan yang harus dia terima berat hati." Lanjutnya dengan senyum.

"Nak Abi tahu Fay sakit apa?" Tanyanya kemudian. Aku menggelengkan kepala, Fay tidak pernah benar-benar terbuka tentang itu.

"Pneumonia tingkat akhir." Aku mendekap lututku kencang. Pneumonia bukanlah penyakit sembarangan, dan lagi tingkat akhir?

"Dan nak Abi tahu? Dokter bilang apa habis itu?" Aku tidak membalasnya. Hanya duduk dengan tubuh tertelungkup.

"Fay tidak punya waktu lama lagi." Aku mengangkat kepalaku. Hatiku yang sudah hancur serasa ditambah puluhan hujaman pedang lainnya. Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Namun wajah ibunya sama sekali tidak begitu, ia terlihat kuat, dan tegar. Tidak terlihat seperti seorang ibu yang akan kehilangan putrinya.

"Dan Fay bilang sama Ibu waktu itu, dia nggak mau liat orang-orang disekitarnya terpuruk karena penyakitnya, atau karena waktunya yang tinggal sebentar.." Matanya terlihat berkaca-kaca, dan kesakitan, namun ia tidak menangis atau marah.

"Jadi, kalau lihat nak Abi begini, Fay pasti sedih banget, nak Abi. Ibu bisa minta tolong sama nak Abi?" Aku menegakkan bahuku, dan memasang wajahku padanya.

"Tolong biarin Fay bahagia buat sekarang, ibu mohon banget.." Suaranya yang bergetar, dan tatapan matanya yang mantap mengusir rasa sakit di pundakku ke udara. Kepalaku mengangguk-angguk mengiyakan permohonannya.

Setelah semua pembicaraanku dengan ibunya, aku masih tidak bisa mengunjunginya hari itu, hatiku masih terkejut, dan terbebani. Aku merasa tidak bisa menemuinya dengan keadaan ini. Aku berjanji padanya akan datang keesokan sorenya, dan membawakan hadiah kecil yang akan ia sukai. Selama dirawat, Fay pasti tidak bisa menyentuh barang-barang manis, jadi sebelum datang, aku mampir ke salah satu bakery kesukaanku, dan membeli beberapa kue-kue kecil yang terlihat cantik. Rasanya aku seperti dibawanya dalam permainan peran, dimana aku tidak bisa menangis meski aku ingin. Tidak bisa memintanya untuk tinggal, meski aku ingin. Janji yang sudah kubuat dengan ibunya, tentu saja harus aku tepati bagaimana pun hancurnya perasaanku.

Baru satu langkah kakiku mendekati lobi, aku sudah bisa melihat wajahnya yang cantik, dan tubuhnya yang lemas terduduk di bangku taman. Bangku taman yang sama dengan tempat pertama aku terpana padanya. Aku mendekatinya, dan berhenti di depannya, menunggunya menyadari keadaanku. Ketika wajahnya terangkat, mata kami bertemu, tubuhnya langsung melompat bahagia dalam pelukanku. Wangi kamar rumah sakit, dan alkohol kuat menempel pada tubuhnya yang ringkih. Aku mendekapnya erat, takut kehilangannya lagi seperti malam itu.

"Kakak kangen banget sama kamu, Fay." Bisikku di telinganya, mengembangkan senyuman di wajahnya yang pucat. "...aku juga." Balasnya berbisik.

Kami berjalan menyusuri lobi rumah sakit dengan tangan yang saling terhubung. Wajahnya tampak bercahaya begitu kami mulai berjalan bersama. Rasanya hatiku sangat bahagia, dan berteriak kesakitan di saat yang sama tatkala melihatnya. 

Kami berencana menggelar jamuan makan kecil-kecilan di taman belakang rumah sakit. Tamannya luas, cocok sekali untuk sekedar mengadakan piknik kecil. Disana, ada satu pohon tua yang penuh dengan dedaunan, kami menggelar tikar kami dibawahnya. Kue yang kubeli juga dikeluarkannya semangat, tanpa pikir panjang. Terlihat sekali di wajahnya bagaimana ia begitu menikmati hadiahku. Anehnya, tidak ada sedikitpun rasa takut di wajahnya, membuatku ingin memeluknya, dan menangis untuknya.

"Enak banget, Kak.." Ucapnya setelah menghabiskan tiga potong kue dalam mulutnya. Aku tertawa kecil melihatnya bertingkah imut. Tidak sampai setengah jam sebagian besar kotak kue kami sudah kosong. Karena kekenyangan, kami berdua terbaring diatas tikar, dan memandangi langit, seperti burung kekenyangan. Aku memandangi wajahnya yang sedang terbawa pikiran panjangnya yang tidak bisa aku tebaka, kemudian kembali menatap ke atas langit bersamanya

"Kak.." Aku mengeluarkan suara, memberikan tanda padanya, aku akan mendengarkan.

Lihat selengkapnya