23.56 WIB - Apartemen Renata
“ Sial ”
Sungutku sambil mengeluarkan rokok dari dalam tas. Kukeluarkan sebatang dan menyulutnya. Setumpuk laporan masih banyak yang harus kukerjakan, dan isi kulkasku telah habis. Perutku lapar dan kepalaku sudah berkunang-kunang. Saldo rekeningku sudah menipis sementara anakku sudah menghubungiku berkali-kali. Daffa, anakku meminta transfer untuk pembayaran biaya kelulusan sekolahnya. Kuhisap rokok terakhirku dalam-dalam, anganku melayang dalam kegelisahan. Kepalaku terasa berat karena aku harus membiayai sekolah anakku seorang diri setelah Ferdy meninggalkanku saat Daffa masih kecil. Tak sepeserpun ia menafkahi darah dagingnya, aku banting tulang membiayai anakku seorang diri. Segala pekerjaan aku ambil agar Daffa bisa bersekolah di sekolah favorit. Usahaku tak sia-sia, Daffa kini lulus SMA dan mendapat beasiswa untuk kuliah di Jepang.
Puas rasanya menunjukkan pada dunia bahwa aku bisa mengurus dan mendidik anakku seorang diri. Ayah kandungnya hilang bak ditelan bumi. Anton, suami keduaku saja tidak memberikan kontribusi apapun dalam pernikahan kami. Gayanya saja selangit, mengaku seorang pengusaha, nyatanya penghasilan saja pas-pasan. Gajiku saja lebih besar dari penghasilannya. Kami bercerai pada tahun lalu, akupun tak begitu peduli padanya. Lelaki miskin itu bagai benalu dalam hidupku. Untuk apa aku bersuami kalau biaya hidup saja harus patungan dari hasil keringatku.
Layar ponselku berkedip, ada sejumlah pesan masuk ke ponselku. Hardian Hardjawinata rupanya. Dia adalah big boss di perusaahan tempat aku bekerja kini. Usianya memang tak muda lagi, tapi keahlian dia untuk mengembangkan sejumlah properti sudah tidak diragukan lagi. Sejak aku bergabung di perusahaan ini, Hardian melempar sinyal tak biasa padaku. lelaki tua ini cukup genit memang, tapi selama posisiku aman kurasa tak masalah buatku.
Hardian Hardjawinata
“ Renata sedang apa, kamu belum tidur Ren?”
Pesan singkat itu tertera di ponselku. Aku malas menjawab pesannya, tapi aku ingat besok aku harus menemaninya meeting.
“ Belum Pak, masih mau buat draft meeting untuk besok”
Hardian Hardjawinata
“ Istirahat saja Ren, biar besok saja Nanda yang kerjakan, besok kamu tinggal temani saya saya meeting bertemu Pak David di Hotel Sahid “
“ Gak apa-apa Pak, sebentar lagi selesai kok”
Hardian Hardjawinata
“ Oke kalau begitu, mau aku pesankan pizza Ren ?”
Nah, rupanya Tuhan mendengar suara jeritan perutku kali ini. Kuiyakan saja tawarannya, toh dia yang menawarkan padaku.