Harta Tahta Renata

Ratih widiastuty
Chapter #9

Kepingan Hati (Cerita Rania)

01.00 WIB - Rumah Rania

Tendangan sepasang kaki mungil di perutku ini semakin lama semakin kuat. Aku selalu merindukan gerakannya, rasa ngilu di perutku karena janinku memutar badannya sudah tak terhitung jumlahnya. Nafasku sudah terengah-engah, perutku kian berat, dan rasa lelah ini sudah teramat sangat. Bukan lelah karena bobotku saja, tapi batin ini semakin lama semakin menyiratkan gelisah.

Ray selalu mondar-mandir ke Bandung nyaris tiap minggu, aku sudah jarang bertemu dengannya sudah satu bulan ini. Ray bilang ada beberapa proyek sampingan dia yang gagal dia kerjakan karena sesuatu hal. Ada tagihan yang tersendat dan entah kapan dibayarkan. Gaji Ray di RENTZ belum bisa menutupi kebutuhan bulanan kami. Cicilan rumah, cicilan mobil dan biaya sekolah anak-anak. Ray semakin sibuk mencari sampingan, semua proyek dia hajar.

Bulan ini aku belum membayar SPP anakku, belum kontrol kondisi kandunganku, dan sejumlah tagihan lainnya. Usia kandunganku sudah menginjak 37 minggu. Sudah saatnya aku kontrol 1 minggu sekali. Aku sudah rindu dengan anak di rahimku, aku ingin mendekapnya, menyaksikannya lahir ke dunia. Namun apadaya biaya melahirkan saja kami belum punya.

Ya Allah, kuatkan aku menghadapi segala ujian-Mu, kuatkan suamiku agar dia bisa menyelesaikan segala pekerjaannya. Jadikan lelah dia menjadi lillah-Mu Ya Allah. Aku sudah tak kuasa melihat wajah kusutnya setiap kali tiba di rumah, aku genggam tangannya, kupijit bahunya tapi semuanya seakan sia-sia. Tak bisa lagi mengobati segala kesulitan hidupnya.

Ray kini sudah berubah semenjak dirinya bertambah sibuk dengan pekerjaannya. Tak ada lagi pijitan sebelum tidur saat kakiku kian bengkak ini. Tak ada lagi lelucon receh yang kerap ia lontarkan saat kami bercengkrama. Tak ada lagi pelukan hangat dan ciuman di kening setiap pagi. Yang tersisa hanya tatapan dingin dan kata-kata singkat setiap ia datang dan kembali pergi. Batinku ingin berteriak sekencang-kencangnya, aku tak habis pikir siapa lelaki ini. Ia bukan suamiku seperti yang kukenal. Padahal dulu kami pernah mengalami kesulitan seperti ini, Ray masih tetap sabar dan kami saling menguatkan.

Hari ini hari Rabu, Ray sudah berada di Bandung sejak minggu lalu. Dia mengatakan akan pulang malam ini, seperti biasa aku sabar menunggu. Tadi sore aku sudah masak ayam goreng dan sayur asem kesukaannya, siapa tahu dia pulang lebih awal dan bisa makan malam. Jam menunjukkan pukul 01.00 WIB, kurasa sudah terlalu larut untuk makan malam.

Aku turun ke dapurku, memasukkan kembali beberapa potong ayam ke dalam kontainer. Kusimpan sayur dan potongan ayam ke dalam kulkas agar bisa kuhangatkan besok pagi. Aku berjalan dengan langkah gontai ke ruang tamu. Kujatuhkan badanku di sofa, ku terdiam sambil menatap layar TV yang tidak menyala. Hening, sepi, tanpa suara, hanya terdengar detak jam dinding yang berirama. Kusandarkan punggungku sambil memejamkan mata, air mataku menetes menjalar di pipiku. Sambil terisak aku menyebut nama Tuhanku. Ya Allah aku tak tahu dimana suamiku kini, kumohon jagalah ia dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Mam….Mamaaaaa….”, teriakan kecil anakku membangunkanku. Ternyata aku tertidur di ruang tamu. Aku segera naik ke kamar tempat kamar aku dan anakku berada. Ternyata anakku telah berdiri di depan pintu sambil berdiri menahan kantuk.

“ Ada apa Kica, kok bangun nak?” ,tanyaku sambil memegang tangganya.

“ Papa belum pulang ya mam?”, tanyanya polos sambil mengucek matanya.

“ Belum sayang, mungkin di jalan macet. Kica bobo aja ya, nanti besok pagi ketemu papa kok”, hiburku sambil mengajak anakku tidur kembali.

Lihat selengkapnya