Harta Tahta Renata

Ratih widiastuty
Chapter #10

Pesona Renata (Cerita Rayendra)

08.00 WIB - Kantor RENTZ

PING

PING

PING

Bunyi ponselku berkali-kali berdering tapi sengaja kubiarkan. Aku tak mau menjawab panggilan itu. Kepalaku rasanya sudah mau pecah. Pesan Whatsapp, email dan panggilan telepon itu membuatku gila, naik darah aku jadinya.

Dion

“ Ray… gue mau ngomong sama lo!!!. Angkat teleponnya!!!”,

Itu adalah pesan Whatsapp dari Dion yang merupakan salah satu partnerku. Aku berusaha tidak membuka pesannya, tapi isi pesannya terlanjur kubaca di notifikasi layar ponselku.

Dion adalah seorang pemilik agensi yang menjadi perantara diriku dengan sejumlah klien di Jakarta. Dia yang memberikanku banyak proyek selama ini. Kulempar proyek-proyek itu pada tim-ku, namun sayangnya kadang tim yang aku rekrut kabur di tengah jalan. Semua proyek yang mereka kerjakan tak selesai. Klien meminta pertanggungjawaban Dion dan kini ia mengejarku. Ingin rasanya kuindahkan pesannya, namun Dion satu-satunya harapanku untuk mengais rejeki.

“ Mas nanti siang kamu belum pulang ke Jakarta kan?”, tanya Renata yang membuyarkan lamunanku sambil berdiri di depan pintu masuk ruanganku.

“ Belum Ren, aku masih banyak kerjaan. Pak Hardian juga masih ngajak aku meeting buat monitor restoran barunya”, jawabku pada perempuan yang kini duduk di hadapanku. Perempuan dengan paras cantik dan ayu. Kulitnya kuning langsat bening terawat, serta pembawaanya yang ceria selalu menghangatkan kantor ini. Renata Rahardjo, seorang wanita yang diam-diam aku kagumi sejak pertama aku melihat CV yang dia apply padaku. Renata adalah seorang wanita cerdas, mandiri, dewasa dan berkepribadian hangat.

Ia adalah seorang ibu tunggal yang mandiri. Aku mengagumi dirinya saat ia bercerita kalau Renata membesarkan anaknya seorang diri. Suaminya tak bertanggungjawab dengan pergi meninggalkan Rena saat anaknya masih kecil. Sejak saat itu Rena harus banting tulang menghidupi anak dan ibunya. Suatu sikap yang sangat aku kagumi, tidak semua wanita bisa seperti Renata.

Renata jauh berbeda dengan Rania. Rania seorang yang terlalu nyaman di zonanya. Kesehariannya hanya diam di rumah, alasannya hanya mengurus anak. jarang bergaul dengan orang-orang baru, tak heran kalau pikirannya sangat sempit. Rania masih sangat konservatif. Pemikirannya tidak fleksibel, dia hanya menjalankan apa yang menurutnya benar. Rania tidak mampu mengelola keuangan, ia hanya selalu menunggu transferan. Kebiasaannya hanya melihat online shop untuk belanja baju anak-anak. Rania selalu ingin menyekolahkan anak-anak ke sekolah bergengsi, sekolah swasta yang ada di BSD. Entah apa yang ia cari, menurutnya sekolah yang bagus adalah sekolah yang punya metode active learning lah, harus sekolah Islam lah, ada pendidikan karakter lah. Bagiku sekolah dimana saja sama, karena sesungguhnya pondasi seorang anak dibentuk oleh orangtuanya di rumah. Banyak yang anaknya sekolah negeri tapi ketika kuliah mereka bisa kuliah di luar negri. Seperti Daffa anak Renata, ia menjadi bukti ketangguhan seorang wanita yang sukses membesarkan putri semata wayangnya.

“ Mas, kenapa sih ngelamun lagi?’, tanya Renata yang masih duduk di depanku sambil memainkan ponselnya.

“ Gak ada apa-apa Ren, ini pusing kerjaan “, jawabku singkat padanya. Kutundukkan kepalaku yang sedari tadi melirik perempuan itu.

Bibir tipis Renata mengembang menyunggingkan senyum. Dia memajukan kursinya dan mendekatkan badannya ke arahku. Jemari tangannya meraba punggung tanganku yang sedang memegang mouse. Sentuhan jemarinya membuat hatiku berdesir, libidoku serasa naik menyeruak hingga badanku dibuat merinding.

Lihat selengkapnya