13.00 WIB - Resto Bukit Bambu
Semilir angin sejuk berhembus membelai dedaunan yang melambai dengan gemulai. Sayup-sayup terdengar alunan musik gamelan Sunda di seluruh penjuru ruangan di rumah makan bergaya resort ini. Suasana rumah makan sunda ini di-desain dengan sentuhan pedesaan dengan interior yang semuanya terbuat dari bambu. Suasanya tenang dan damai, jauh dari kebisingan dan hiruk-pikuk kemacetan.
Rumah makan yang baru saja diresmikan Pak Hardian ini memang masih baru. Aku menyukai konsep restoran bergaya resort ini. Pak Hardian mengajak kami semua makan siang selepas briefing tadi pagi. Kami memilih untuk menempati meja yang berada di gazebo agar bisa leluasa menikmati pemandangan perbukitan di sekeliling kami.
“ Ray, kalian nikmati saja acara makan siangnya disini. Saya mau ketemu klien lagi jam 2 siang “, ujar Pak Hardian sambil mengaduk-aduk kelapa muda yang ada di mejanya.
“ Iya pak, nanti saya sama Rena mau ketemu manager resto ini dulu, saya mau brief tentang aplikasi RENTZ di Resto Bukit Bambu ini pak ”, jawabku dengan sigap pada Pak Hardian. Beliau sudah menjamu kami di resto barunya, kini saatnya diriku yang harus menyenangkan hatinya.
“ Nah bagus itu. Kamu sama Renata udah bagus tuh koordinasinya. Semua presentasi sama klien lancar jaya kalau Renata yang maju. Pertahankan lah ya”, sahut Pak Hardian menepuk bahuku. Aku tersenyum dengan penuh bangga, kekesalanku di pagi tadi terhapus sudah. Aku merasa semesta menemukanku dengan investor yang tepat, tim yang solid dan partner kerja yang hebat. Renata adalah orang yang sangat kuandalkan saat ini.
Kulihat sosok Renata dari kejauhan, ia sedang bercengkrama dengan staf Resto ini. Itulah gaya Renata yang supel, ramah dan hangat pada semua orang. Dimas dan Angga sibuk memesan menu makan siang, Cintya dan Nurul masih sibuk selfie di setiap penjuru restoran, sedangkan Fadli sang marketing baru kami tengah mengatur meja yang akan kami tempati. Aku merasa bangga memiliki mereka, tim yang solid seperti ini tak boleh aku sia-siakan. Selepas Pak Hardian menyantap menu makan siangnya, ia pamit untuk lanjut menghadiri meeting bersama kliennya. Akhirnya, aku bisa melepas penat sejenak di tempat ini bersama orang-orang terbaik yang kumiliki.
Aku beranjak dari tempat dudukku dan menghampiri anak buahku yang sedang asyik ber-selfie ria. Renata lari terbirit-birit menghampiri kami untuk ikut berfoto bersama. Ia berdiri di sampingku sambil berpose dengan senyum manisnya. Kuraih bahu Renata dan kupeluk badannya dari belakang, ia mendekatkan tubuhnya dan menyenderkan punggungnya di dadaku. Bahasa tubuhku dan tubuhnya seakan satu frekuensi menyiratkan sinyal-sinyal cinta.
“ cie…..cieeee…Mas Ray sama Mbak Rena makin mesra aja nih”, goda Nurul saat mendapati kami berangkulan erat. Aku tersipu malu begitupun Renata. Aku tahu rasa ini salah tempat, tapi aku yakin cinta akan selalu datang pada orang yang tepat.
Anak buahku tahu aku sudah memiliki anak dan istri, aku sering bercerita tentang anak-anakku pada mereka. Tapi aku sudah lelah dengan kehidupan rumah tanggaku. Hanya pada mereka aku bisa mengadu, memuntahkan segala kekesalanku dan mencari pandangan lain mengenai segala masalahku. Mereka hanya bisa mendukung apa yang aku pikir terbaik bagi karir dan keluargaku. Saat ini aku sedang tertekan, masalah pekerjaan menumpuk memperparah kondisi finansialku.
Nurul juga merupakan seorang Ibu Tunggal dari seorang putra. Ia melamar di RENTZ demi menghidupi putranya yang kini sudah masuk sekolah dasar. Sebelum ia bekerja di RENTZ, Nurul bekerja sebagai driver taksi online untuk menghidupi anaknya. Ia tidak pernah bergantung dari mantan suami yang meninggalkannya. Mantan suaminya sudah menikah lagi selepas mereka bercerai, sejak saat itu anaknya sudat tidak dibiayai oleh ayahnya. Kegigihan Nurul sangat aku apresiasi, itulah mengapa aku menerima dia bekerja di RENTZ. Selain karena performa kerja yang baik, ia merupakan wanita tangguh yang harus aku sukai. Meskipun umurnya jauh dibawah umurku, Nurul cukup dewasa menyikapi segala permasalahan hidupnya.
Orang kedua yang aku sering aku ajak curhat adalah Fadli, dia baru saja bergabung di tim kami satu bulan yang lalu. Usianya sekitar 42 tahun. Usia yang cukup matang untuk aku ajak berdiskusi. Fadli menyarankanku untuk berterus terang pada istriku tentang masalah kami. Segala cara aku lakukan untuk berbicara pada Rania, tapi hasilnya sia-sia. Aku tak mau membahasnya saat ini, kandungan Rania sudah medekati tanggal melahirkan. Aku tak bisa membuatnya stress karena masalah-masalah kami, meskipun aku tahu kalau semua ini tak bisa kubiarkan lagi.
“ Kalo Mas Ray udah cape sama Rania ya lebih baik putuskan segera mas, performa kerja mas Ray ga akan optimal, pekerjaan makin gak selesai, imbasnya kan ke kondisi perekonomian juga. Kasian kan anak-anak Mas Ray kalau ayahnya ga sehat lahir dan batinnya”,saran Fadli saat aku curhat di tengah-tengah kegalauanku.
“ Jatuh cinta itu anugrah mas, cinta itu pemberian Tuhan. Mungkin mas Ray harus ketemu sama Mbak Rena dulu biar bisa mengambil sikap. Coba kalau ga ada Mbak Rena, mungkin Mas Ray masih terbelenggu dalam ikatan rumah tangga yang tak sehat”, serunya bijak.
Kata-kata Fadli masih aku ingat hingga kini. Itulah yang membuatku yakin kalau cintaku pada Renata memang anugrah yang harus aku syukuri. Sambutan hangat Renata menandakan semesta telah mendukung dan berpihak kepada kami. Meskipun dari dasar hatiku yang paling dalam, semua tentang Rania masih belum bisa kusingkirkan. Apalagi sebentar lagi ia akan melahirkan, kehadiran anak ketigaku terus membuatku bimbang.