07.00 WIB - Rumah Rania
Kupeluk dua tubuh mungil yang saling mendekapku erat di sebelah kiri dan kananku. Badan mereka masih demam, Kica sesekali terbatuk saat tidurnya. Mata Kila terlihat kuyu, kulitnya pucat karena sudah tiga hari tak mau makan. Aku tiba di rumah jam 2 dini hari, kulihat mereka tertidur di kamarku bersama Rania. Rania menyuruhku tidur bersama anak-anak, katanya mereka merindukanku sampai menggigau. Aku tidur hingga pagi ini sambil memeluk tubuh mereka yang terkulai lemas.
“ Pap ini teh manis nya, aku beliin nasi uduk buat sarapan nih”, sapa Rania sambil membawa nampan berisi secangkir teh manis dan sepiring nasi uduk dengan telur dadar kesukaanku. Perutnya semakin membuncit dan jalannya semakin berat menghampiri kasurku.
“ Gak usah dibawa ke sini piringnya, biar aku yang makan di dapur. Jangan bawa yang berat-berat dong Mam “, jawabku pada wanita itu. Rania cuma tersenyum sambil membawa piring nasi uduk dan duduk di samping tempat tidurku.
“ Gak apa-apa, anggap aja latihan sebelum lahiran. Sini duduk Pap, aku suapin kamu”, ujar Rania sambil memegang piring sambil duduk di pinggiran kasur.
Aku melepaskan pelukan kedua anakku yang semalaman kudekap. Aku bergeser dan duduk di samping Rania. Semalam ia tidur di kasur kecil karena kasur kami sudah tak muat lagi. Rania menyodorkan segelas teh manis hangat padaku. Kuhirup teh manisku yang rasanya pas tak terlalu manis, rasa hangat kemudian menjalar ke tenggorokanku. Kemudian Rania menyuapkan nasi uduk padaku, sambil menyuapi ia menceritakan kondisi anak-anak padaku.
“ Anak-anak nanyain kamu sejak tiga hari yang lalu, panas mereka sampe 39°. Kica mengigau karena demam tinggi. Aku beli aja paracetamol, untung harganya ga begitu mahal, sisa uangku aku beli sayur bikin sop ayam”, ujar Rania yang masig menyendokkan nasi ke mulutku.
“Maaf aku belum bisa transfer, kemarin sibuk banget”, sahutku penuh penyesalan mendengar cerita Rania.
“ Gak apa-apa aku ngerti. Alhamdulillah ada sedikit rejeki, jadi aku bisa bawa anak-anak ke dokter. Obatnya lumayan mahal soalnya mereka berdua perlu antibiotik gara-gara radang. Tapi gak apa-apa yang penting mereka udah ke dokter dan tidurnya lebih nyenyak sekarang”.
“ Rejeki dari mana? Emang habis berapa kemarin ke dokter?”, tanyaku sedikit kaget bahwa anakku ternyata sudah dibawa ke dokter oleh Rania. Aku tau kalau uang di rekening Rania dibawah 100 ribu, itupun dia pasti sudah pakai untuk keperluan dapur.
“Ada lah, pokonya lumayan bisa tambah-tambah uang belanja sama ke dokter. Sukur-sukur bisa cukup buat kontrol dede pagi ini. Harusnya minggu depan aku udah lahiran pap”, ujar Rania dengan wajah khawatir.
Aku terdiam mendengar ucapan Rania. Aku tau persis Rania harus segera kontrol ke dokter, tapi uangku belum cukup. Aku bingung harus mencari uang darimana untuk biaya lahiran Rania. Pinjam sama Pak Hardian belum tentu diperbolehkan, banyak sekali pengeluaran kantor yang harus aku prioritaskan.
“ Aku anter kamu ke dokter ya, abis dari dokter aku ada meeting sama Dion di Grand Indo jam 1 siang. Mudah-mudahan ada rejeki untuk lahiran dede ”, sahutku pada Rania yang membereskan piring makanku.
Rania mengangguk dan menyuruhku segera mandi dan bersiap-siap. Ternyata Rania sudah mandi dan tinggal berganti baju. Aku bergegas ke kamar mandi secepat mungkin. Selesai mandi kulihat jam menunjukkan pukul 9 pagi. Kami harus cepat berangkat agar mendapat antrian urutan kecil.
Rania sudah rapi dan mengenakan jilbabnya. Dia sibuk memasukkan dompet dan kartu kontrol ke dalam tas lama yang sudah jarang ia pakai. Sambil menungguku memakai baju, Rania menungguku di bawah. Kubuka lemari bajuku, aku cari kaos abu-abu polos kesukaanku. Entah mengapa mataku malah menyisir seisi sudut lemari, di rak paling bawah adalah tempat Rania menyimpan tas miliknya. Rak itu biasa penuh, namun kini tampak kosong tanpa ada tas miliknya satupun.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 9.20 WIB. Kila dan Kica belum juga bangun. Aku betulkan selimut mereka dan bergegas turun untuk pergi ke dokter kandungan Rania. Setelah pamit pada ibu mertuaku, kami bergegas ke klinik yang tak jauh dari rumah kami.
“ Kok tumben kamu pake tas itu, udah lama banget kamu ga pake. Tas yang biasa kamu pake mana mam?, tanyaku memulai pembicaraan di tengah perjalanan yang sunyi. Rania terdiam sejenak. Kepalanya melirik ke kaca jendela dengan wajah sendu.