20.00 WIB – Rumah Rania
Aku sedang sibuk merakit kasur bayi yang dipinjamkan sahabat Rania pada kami. Rania tengah melipat baju bayi yang baru dibeli untuk menyambut kelahiran anak ketiga kami. Besok adalah hari yang kami tetapkan untuk menjalani operasi caesar. Hari ini Rania harus berpuasa, sambil menghabiskan waktu ia merapikan pernak-pernik bayi dan mengepak beberapa stel baju untuk persiapan ke rumah sakit.
Meetingku dengan Dion kemarin bisa dibilang sedikit melegakanku. Kliennya bisa menerima penjelasanku mengapa aplikasi kami belum selesai tepat waktu, dan ia bersedia melakukan pembayaran atas sebagian produk yang aku kerjakan. Namun berita buruknya adalah ia akan membayar 2 minggu lagi, sementara besok Rania harus masuk rumah sakit.
PING!!!
Terdapat pesan masuk di ponselku. Fadli memberitakan bahwa aku harus ke Bandung untuk melakukan meeting dengan beberapa pemilik Hotel di Bandung. Aku jelaskan bahwa seharusnya Renata bisa menggantikanku untuk melakukan meeting tersebut. Fadli lalu bercerita bahwa Renata sering keluar pada saat jam kantor tanpa laporan sama sekali.
Aku mulai teringat Renata, kemana saja ia selama ini? Beberapa hari ini aku sangat disibukkan dengan pekerjaan Dion dan urusan persalinan Rania. Aku belum menghubungi dia lagi, begitu pula sebaliknya. Pertangkaran tempo hari benar-benar membuat dia marah padaku. Aku tak tahu apakah harus memintanya kembali atau memang aku harus menyudahi semuanya.
“Makan dulu Pap, kamu udah cape dari tadi ngurus tempat tidur bayi. Jadi inget waktu lahiran Kica, kita mendadak beli peralatan bayi pas dia mau lahiran“, kenang Rania sambil memeluk pinggangku dengan tersenyum.
“Iya ya, cuma pas Kila lahir kita beli semua peralatan bayi sejak kamu hamil 7 bulan. Anak kedua sama ketiga mah boro-boro deh “, ujarku sambil mengenang kembali saat kami menyambut kelahiran anak-anak kami.
Masih teringat jelas di benakku saat Rania akan melahirkan anak pertamaku. Semuanya sangat mengesankan, seperti cerita di film drama. Kami belanja berburu baju bayi saat Rania masih hamil 7 bulan hingga bagaimana antusiasnya kami saat periksa ke dokter kandungan. Aku ingat saat Rania mulai merasakan kontraksi saat tengah malam, aku sampai tak bisa tidur karena Rania terus mengeluh sakit. Pagi harinya aku dan mertuaku membawa Rania ke rumah sakit. Selama 12 jam Rania mengalami kontraksi dari ringan hingga berat. Kupegang jemari Rania untuk meredakan sakitnya, aku bilang padanya bahwa ia boleh jambak atau cubit aku kalau itu bisa meredakan sakitnya.
Aku sampai tak tega melihat Rania yang menahan sakit begitu hebat. Tak berhenti aku usap pinggangnya, aku seka keringatnya, kubiarkan ia meremas lenganku dengan begitu kuat. Hingga akhirnya dokter datang karena Rania sudah bukaan lengkap. Aku melihat dengan jelas bagaimana proses kelahiran anak pertamaku. Aku nyaris pingsan menyaksikan anakku lahir di dunia ini. Semuanya tak bisa kuungkapkan, antara sedih, haru dan bangga pada wanita yang berjuang mempertaruhkan nyawanya saat itu.
Kelahiran anak keduaku tidak seperti anak pertamaku. Rania tidak mengalami kontraksi sama sekali padahal usia kandungan sudah tepat 40 minggu. Dokter menyarankan untuk operasi Caesar karena dikhawatirkan bayi kami sudah menelan air ketuban. Prosesnya sangat singkat dan Rania terlihat begitu tenang. Setelah operasi barulah penderitaan Rania dimulai. Jahitan di perutnya membuat Rania sulit untuk bergerak. Jangankan berdiri, untuk miring ke kiri dan kanan saja ia harus mengeluarkan segenap tenaga sambil menahan sakit yang amat sangat.
Kini kelahiran anak ketigaku benar-benar menguras emosi dan pikiranku. Entah apa yang membawa diriku ke titik ini. Kelahiran anak yang seharusnya menjadi kebahagiaan tak ternilai malah jadi kegundahan paling hebat dalam hidupku. Hubunganku dan Rania kian dingin, rasa cintaku sudah pudar padanya.
“Pap ayo makan, udah malem nih. Besok pagi jam 5 subuh kita harus berangkat ke RS”, tegur Rania saat aku melamun sambil memainkan ponselku. Aku tengah memantau percakapan WA grup RENTZ yang tengah ramai, kulihat chat dari Renata yang sedang memberikan brief pada anak buahku. Inginku menyapanya, menghubunginya, meminta maaf atas perlakuanku tempo hari padanya. Namun aku tak bisa, entah kenapa begitu aku berada di sini hatiku seperti terkunci. Kelahiran anakku besok serasa mengikatku untuk terus berada disini, menemani Rania dan mencurahkan perhatian dan waktu untuk anak-anakku.
“Iya aku makan dulu deh, kamu langsung tidur aja biar ga lemes”, jawabku pada Rania sambil membelai kepalanya. Aku masih ingin memastikan rasa sayangku masih ada untuknya. Namun sayang bayangan Renata terlalu kuat, raganya ada di Bandung tapi bayangannya selalu menghantuiku setiap detiknya. Aku berjalan menuju dapur, di meja sudah tersaji nasi putih, sayur sop dan ayam goreng ungkep kesukaanku. Entah kenapa semuanya begitu hambar bagiku.
05.00 WIB – RS Kasih Bunda
“Bu Rania ayo langsung masuk ruangan observasi ya, suaminya ikut aja ga apa-apa”, seru seorang suster di RS tempat Rania akan melahirkan. Kami memasuki ruangan observasi dan seorang suster datang memberikan baju ganti khusus untuk Rania. Perut Rania dipakaikan alat Cardiotocography (CTG) untuk memantau denyut jantung calon anak kami.
“Ibu udah paham ya cara kerjanya, ini kan kelahiran anak ketiga “, ujar suster yang tengah mengencangkan sabuk alat CTG di perut Rania.
Rania mengangguk sambil menggenggam suatu alat dengan tombol yang harus ia tekan apabila terjadi kontraksi di perutnya. Kudengar denyut jantung calon bayi kami, gerakan badannya juga lincah seakan tak sabar ingin cepat hadir di dunia. Suster akhirnya meninggalkan kami berdua di ruangan observasi, kulihat Rania membuka ponselnya sambil membaca dzikir.
PING!!!