22.00 WIB – Apartemen Renata
Kuhempaskan tubuh ke atas kasur di apartemen yang aku sewa ini. Rasanya hari ini adalah hari yang panjang dan menyebalkan. Perutku sakit, mood-ku berantakan, dan yang menyebalkan agenda kencan malah menjadi bencana karena bertemu dengan orang-orang yang tidak kuharapkan. Ivan baru saja mengantarku hingga lobby, aku tak membiarkan dia masuk ke kamarku, aku sudah lelah dan ia pun terus-terusan dihubungi oleh ibunya. Badanku serasa remuk dan kepalaku migren. Lengkap sudah penderitaanku malam ini, aku hanya ingin tidur dan melupakan kejadian malam tadi.
Bip Bip Bip Bip Bip Bip
Aduh itu pasti telepon dari Ivan lagi, aku sudah sangat lelah untuk mengambil ponsel yang masih terdapat di dalam tasku. Kubiarkan saja panggilannya, nanti juga dia menelepon lagi begitu ia sampai rumah.
Bip Bip Bip Bip Bip Bip
Rupanya ia masih tak gentar juga untuk menghubungiku. Kukeluarkan segenap tenagaku untuk berdiri meraih tas yang tergeletak di meja riasku. Kuambil ponselku dan kubaca kontak yang menghubungiku.
Benny, 2 missed calls
Seketika kepalaku bertambah sakit. Inginku matikan saja ponselku namun rupanya Benny menghubungiku lagi untuk yang ketiga kalinya.
“Halo … “, kuangkat panggilan Benny dengan suara ketus.
“Halo Ren, udah sampai apartemen?”, tanyanya padaku.
“Iya udah, cape banget gue Ben. Gue mau istirahat nih “, jawabku singkat ingin segera mengakhiri panggilannya.
“Yang tadi pacar apa pacar?“, goda Benny yang tengah membicarakan Ivan.
“Cowo gue lah, menurut lo sapa lagi “, jawabku sinis padanya.
“Yang ini beda kayanya, tumbenan sama berondong, Ren“, cecar Benny. Segala pertanyaan Benny benar-benar membuatku naik darah.
“Aduh Ben udah deh, mau gadun kek berondong kek suka-suka gue lah“, teriakku sambil menahan kepalaku yang semakin nyeri.
“Jangan marah dong Ren, gue kan mau tau lo dapet dia dari siapa. Waktu itu aja lo belon kasih komisi sama gue waktu lo jalan sama……..”
“Ben udah deh, jangan ganggu gue sekarang, please. Gue lagi PMS, gue tadi kelaperan, sekarang kepala gue sakit mau pecah. Ini bukan saat yang tepat kita bahas ini, oke?”, seruku memotong ucapan Benny dengan setengah memelas.
“Okelah kalo gitu Ren, tapi inget urusan kita belum selesei ya Ren, kita harus ketemu atau gue samperin ke apartemen lo “, sahut Benny dengan nada mengancam yang sangat halus.
“Iya-iya gue tau. Besok kita ketemu di di club biasa ya, jam 11 malem dan jangan bawa siapa-siapa“, ujarku sambil memijat-mijat keningku. Aku harus mengikuti maunya agar pembicaraan ini segera berakhir.
Keesokan harinya
12.00 WIB – Kantor RENTZ
Semalam aku baru bisa tidur setelah minum pil pereda nyeri. Terpikir sebelumnya aku tidak masuk kantor pagi ini, tapi Pak Hardian mengajaku meeting nanti jam 1. Seperti biasa, meeting dengan big boss selalu di luar kantor. Lebih tepatnya “menemani” Pak Hardian kemanapun ia pergi, padahal ia punya asisten pribadi. Selama Ray masih cuti, aku yang menemani Pak Hardian untuk memantau proyek-proyek barunya. Ia juga mengenalkanku dengan beberapa koleganya. Kusebar kartu namaku pada kolega Pak Hardian, siapa tau ada peluang yang bisa aku dapatkan setelah bertemu orang-orang berduit ini.
PING
“Renata, saya tunggu di mobil sekarang ya “,
Pesan singkat Pak Hardian langsung muncul di layar ponselku. Aku menghela nafasku, badan masih lemas begini harus menemaninya tanpa arah dan tujuan. Belum ada agenda yang bisa aku laporkan padanya hari ini, tapi Pak Hardian masih saja mengajakku keluar nyaris setiap hari.
Aku berjalan ke arah parkiran direksi tempat mobil Mercy Pak Hardian diparkir. Supir pribadi Pak Hardian sedang berdiri di samping mobil, ia bersiap-siap membukakan pintu mobilnya untukku. Entah apa rencana bosku yang satu ini, ia terang-terangan menjemputku nyaris setiap hari di kantor RENTZ. Jika hal ini ia lakukan di kantor pusat tempat dimana ia berada, sudah habis aku menjadi bahan pembicaraan seluruh staf Sukses Hardja Grup.
Aku masuk ke dalam mobil sedan Pak Hardian, ia sudah duduk di sebelahku sambil menyunggingkan senyum dan menggeserkan badannya ke arahku.