Harta Tahta Renata

Ratih widiastuty
Chapter #16

Belahan Jiwa (Cerita Rania)

11.00 WIB – RS Kasih Bunda

“Ibu Rania nanti jangan lupa bayinya divaksin seminggu lagi ya”, ujar seorang suster di rumah sakit tempatku melahirkan putri ketigaku. Aku baru saja kontrol pasca melahirkan hanya berdua bersama Kian, sementara Ray tidak bisa menemaniku karena meeting.

“Iya Sus makasih ya “, balasku sambil membetulkan gendongan Kiana yang melorot. Tangan kananku menggendong Kiana, sementara tangan kiriku membawa tas bayi.

“Bu Rania sendirian? Suaminya gak ikut? tanya suster itu lagi. Aku menoleh dan hanya tersenyum menatap suster itu yang tengah memperhatikan kesibukanku.

“Ya Allah Bu, baru seminggu operasi SC udah pergi sendirian kontrol ke RS sama bayi “, sahutnya sambil menggelengkan kepala.

Aku meninggalkan klinik obgyn sambil berjalan tertatih. Untungnya aku tak lupa mengenakan korset untuk menopang perutku yang rasanya sakit luar biasa. Operasi SC yang kedua kali memang lebih menyakitkan, lebih enak lahiran normal kalau harus dibandingkan. Kian masih tertidur pulas di gendonganku, bayi yang masih merah ini usianya sudah menginjak 1 minggu.

Kiana Malaika Azziati, sebuah nama yang berarti Malaikat berkah dari Tuhan yang penuh kesabaran. Bukan tanpa sebab aku memberi nama ini, Kiana merupakan berkah yang Allah beri saat Kica merengek minta adik lagi. Tidak lama Allah langsung memberikan karunianya padaku. Selama Kian di perutku, semuanya tidak berjalan mulus. Awal kehamilan semuanya terasa indah, hubunganku dengan Ray masih baik-baik saja. Ray malah mengajakku pergi berlibur saat ia ulang tahun. Namun semua berubah saat Ray mendirikan RENTZ di Bandung, ia dituntut untuk bolak-balik ke Bandung nyaris tiap minggu. Selalu tiba di rumah jam 2 dini hari, lalu esoknya pergi pagi-pagi untuk meeting bersama Dion. Lalu muncul masalah saat ada proyek yang tidak kunjung dibayar. Proyek seharga ratusan juta itu kini tak jelas bagaimana kabarnya. Gara-gara itu kami harus menunggak rumah dan biaya keperluan sehari-hari kami. Ray hanya bercerita bahwa banyak proyek yang batal, sehingga kondisi keuangan kami menjadi sangat sulit. Selain kondisi finansial yang berubah, sikap Ray padaku juga semakin dingin. Saat aku hamil tua dan badanku sudah nyaris tak berdaya, Ray sering mengacuhkanku dan kami sempat bertengkar hebat malam itu. Aku hanya bisa bersabar saat itu, jangankan balas marah, menangispun rasanya aku tak sanggup. Aku kasihan pada Kian yang masih di perutku. Kegelisahanku adalah kegelisahannya juga. Aku hanya minta agar kami berdua diberi kesabaran sebanyak-banyaknya, semoga semua masalah ini bisa kami lalui bersama.

Saat Kian lahir, aku benar-benar pasrah pada Allah. Aku sangat takut saat menunggu panggilan dari kamar operasi. Ray hanya sibuk dengan ponselnya, tidak memberiku semangat sama sekali. Hanya Allah satu-satunya tempatku meminta kekuatan. Ketika Suster memanggilku ke ruangan operasi, aku masuk seorang diri dan kurebahkan badanku pada ranjang operasi. ruangannya sangat dingin, apalagi diriku hanya mengenakan baju operasi tanpa pakaian dalam lagi. aku menggigil dan perutku sangat lapar. Beruntungnya sang dokter anastesi mengajakku mengobrol, proses anastesi berjalan lancar dan aku merasa rileks.

Begitu anastesi bekerja, kepalaku mulai pusing dan mual. Perutku serasa dikoyak-koyak hingga aku ingin muntah. Salah satu tim dokter yang menanganiku berusaha menenangkanku. Dokter itu mengusap lenganku dan memijat-mijat bahuku sambil mengajakku berbicara. Miris rasanya bukan Ray yang memberikanku kekuatan saat aku melahirkan, kekuatan saat aku melahirkan Kila dan Kica. Pelukannya, ciumannya, perhatiannya adalah obat yang mujarab saat aku berjuang mempertaruhkan hidupku untuk melahirkan putri kami. Namun kali ini aku merasa berjuang sendiri.

“Selamat ya bu, bayinya sehat nih bu. Montok, cantik, rambutnya tebal banget “, seru dokter Oktavianus saat Kiana telah berhasil diangkat dari perutku. Aku melihat sekilas Kiana yang masih berselimut darah, ia menangis dengan kerasnya. Tak lama suster langsung membawanya ke ruang bayi untuk dibersihkan, dan aku terkapar tak berdaya menunggu dokter Oktavianus menjahit perutku.

“Totalnya lima ratus tujuh puluh ribu rupiah Bu “, sahut petugas kasir saat aku hendak membayar biaya kontrol di loket pembayaran. Kurogoh dompet dari dalam tas Kiana, entah dimana dompetnya berada. Gendonganku terasa longgar jadi aku sibuk membetulkan Kiana. Petugas kasir dengan sabar menungguku mengeluarkan rupiah sembari memperhatikan gerak-gerikku. Repot sekali ibu ini, pikirnya.

Setelah selesai membayar aku menunggu di sofa ruang tunggu dan kupesan taksi online lewat ponselku. Beruntungnya aku tak perlu menunggu lama, taksi tersebut tiba hanya hitungan 3 menit saja. Aku masuk ke dalam mobil dan mendekap erat Kian yang tertidur dengan nyenyaknya. Bayi ini sungguh luar biasa, ialah pelipur laraku. Melihatnya bisa lahir ke dunia sudah menjadi keajaiban luar biasa bagiku.

Ketika aku masih dirawat di rumah sakit, Ray menemaniku seorang diri karena ibu dan mertuaku harus mengurus Kila dan Kica yang harus sekolah. Ray sibuk dengan laptopnya, malah ia meminta ijin untuk berangkat dinas saat aku dirawat hari ke-3. Tentu saja tidak aku ijinkan, bagaimana bisa aku ditinggal sendirian sementara suami yang notabene penanggungjawab pasien tidak berada bersamaku. Belum lagi aku harus latihan berdiri dan berjalan ke kamar mandi usai kateterku dicabut. Hendak buang air kecil saja sakitnya luar biasa, apalagi jika tidak ada Ray disampingku saat itu.

Lihat selengkapnya