Harta Tahta Renata

Ratih widiastuty
Chapter #17

Mediasi (Cerita Rania)

20.00 WIB – Rumah Rania

“Mam kapan Papa pulang? “, tanya anakku Kila saat ia hendak bersiap-siap untuk tidur di kamarku. Kica sudah tertidur pulas sedari tadi karena seharian asyik bermain.

“Katanya sih 3 hari lagi kak “, jawabku dengan penuh keraguan. Diriku masih linglung, perkataan Ray tentang rumah ini tempo hari masih menyita pikiranku. Kini ia sudah kembali ke Bandung, sementara aku ditugasi untuk memfoto seluruh bagian rumah untuk ia posting di internet.

Berat rasanya aku melepaskan rumah ini. Bukan karena materi, tapi kenangan indah bersama Ray dan anak-anak masih membayangi di segala sudut rumah ini. Kamar tidurku, adalah tempat paling favorit untuk kami berkumpul, bercengkrama, saling memeluk satu sama lain. Kamar anakku baru saja aku hias dengan wallpaper kesukaan mereka, kamar yang sengaja aku rancang agar mereka mau belajar tidur tanpa kami. Ruangan main sengaja aku hias dengan lukisan Kila saat ia kursus gambar. Aku susun semua lukisannya menjadi sebuah galeri, agar suatu hari ia akan bangga dengan hasil karyanya sendiri. Turun ke lantai 1, ada ruang tamu sekaligus ruang keluarga yang merupakan tempat kami bercengkrama dengan keluarga dan kerabat. Tempat kami menonton televisi sambil memesan makanan via aplikasi setiap akhir pekan. Di pojok ruang tamu terdapat sebuah piano digital milik Kila, sebuah sertifikat apresiasi saat Kila mengikuti recital terpampang di atasnya. Ray sering memainkan lagu kesukaanku, Perfect dari Ed Sheeran. Aku sering duduk di sampingnya sambil melihat jari tangan Ray menari di atas tuts piano melantunkan lagu favorit kami. Bergeser ke taman belakang, inilah spot kesukaan kami untuk foto-foto dan bemain ayunan bersama anak-anak. Sebuah taman kecil yang kami hias sebagai tempat melepas penat kami. Daun sirih gading tumbuh menjulur dengan lebatnya bagaikan tirai yang menari-nari menghiasi dinding tembok taman belakang. Aneka dedaunan dan beberapa pot bunga tertata rapi menghiasi rak dinding agar tampak asri. Kami sekeluarga sering berkumpul di taman ini untuk sekedar minum teh bersama bakwan goreng kesukaan Ray. Ray sangat menyukai gorengan buatan Ibuku, bisa habis sepiring ia habiskan semuanya sendirian.

Aku menghela nafasku. Kupenjamkan mataku dan berusaha menghapus semua kenangan itu. Sakit hati ini Ya Allah. Aku bukan sedih karena kehilangan rumah, tapi aku tak siap kehilangan semua kenangan indah. Kupeluk Kila yang sepertinya sudah terkantuk-kantuk di kasurku. Kudekap erat tubuh anak sulungku itu hingga ia tertidur lelap. Aku sengaja mengajak kedua anak-anak itu tidur di kamarku sejak Ray sering berada di Bandung. Kamar ini menjadi terlalu besar, sunyi dan sepi tanpa ada Ray di sisiku lagi.

Keesokan Harinya.

10.00 WIB

“Pap ini foto-foto rumah ya, deskripsi rumahnya kamu tulis sendiri aja “ .

Message Sent

Papa Ray

“Ok “.

“Kamu kapan pulang ?”.

Papa Ray

“Gak tau “,

Aku sangat terpukul dengan jawaban Ray yang sangat dingin. Aku butuh teman bicara untuk mengeluarkan segala keluh kesahku. Akhirnya kuberanikan diri untuk menelepon ibu mertuaku. Aku tumpahkan semua kesedihanku tentang Ray selama ini.

“Mama sedih dengernya Ran, tapi mama ga bisa berbuat apa-apa. Coba kamu ikuti saja semua mau Ray, siapa tau Allah meluluhkan hatinya agar kembali seperti dulu “, ujar ibu mertuaku.

“Saya udah ikutin semua mau Ray, saya udah minta maaf pernah ribut tempo hari. tapi Ray masih dingin. Kalau saya boleh jujur, selama saya hamil sampai sekarang saya gak pernah protes sama dia. Hati Rania sakit sebetulnya “, jawabku sambil terisak.

Ibu mertuaku hanya terdiam di ujung sana. Tak banyak saran yang keluar dari mulutnya. Ia hanya menyuruhku untuk banyak berdoa agar Allah mengembalikan Ray seperti sedia kala. Tak puas dengan curhatanku dengan ibu mertuaku, aku cari kontak di grup keluarga yang sekiranya cukup dewasa untuk membantu menyelesaikan masalahku. Akhirnya aku memberanikan diri menghubungi Mas Doni, ia adalah mantan suami Kak Anggi yang telah meninggal 9 tahun yang lalu. Namun Mas Doni masih dianggap kakak bagi kami semua, aku rasa ia adalah orang yang tepat untuk kuajak bicara.

“Mas tolong bantu gue Mas, gue gak tau harus gimana lagi ngadepin Ray “, pintaku dengan memelas saat Mas Doni mendengar curhatanku.

“ Gue kaget denger Ray kaya gitu Ran, setau gue kalian baik-baik aja. Kalian keliatan bahagia sampe bisa punya rumah, punya tiga anak, malah terakhir ketemu kalian baik-baik aja “, jawab Mas Doni dengan nada tak percaya.

“Menurut gue juga baik-baik aja, tapi mungkin enggak menurut Ray. Gue udah ngikutin apa yang Ray mau. Gue mau berubah demi kelangsungan rumah tangga gue. Gue percaya setiap rumah tangga pasti diuji, dan gue selalu siap akan itu. Gue akan pertahankan rumah tangga gue Mas “, seruku sambil memelas pada kakak iparku itu.

Lihat selengkapnya