10.00 WIB – Rumah Rania
Kejadian di rumah mertuaku malam kemarin masih menyisakan perih di hati. Namun aku berusaha sabar, tekadku untuk mempertahankan rumah tangga demi anak-anak lebih besar daripada egoku. Sebisa mungkin aku menuruti apa kemauan Ray, siapa tau Ray mau menenangkan dirinya dari segala permasalahan finansialnya.
Setelah kejadian mediasi malam itu, Ray mengajaku pulang keesokan harinya. Di jalan kami tak lagi banyak bicara, tidak ada juga lantunan musik selama perjalanan, kami semua hanya larut dalam kesuyian. Ketika sampai di rumah aku masih berusaha melayani dirinya, kusiapkan makan hingga kutanyakan segala keperluannya. Ray tau aku sangat terluka, sikap diamku sudah menandakan aku sangat kecewa padanya, tapi semua itu tak lantas membuat dia luluh padaku. Dia terus menghindar dan bermain-main dengan anak kami.
“Ran, piano Kila udah aku posting di internet. Aku udah jual buat bayar biaya sekolah dan makan kalian sampai akhir bulan ini. Kemungkinan siang ini pembelinya mau ngambil kesini “, ujar Ray di kamar selepas dia mandi.
Aku hanya terdiam dan pasrah atas segala keputusannya, toh lambat laun rumah ini harus dijual juga. Aku tak mungkin pindah dengan membawa piano itu. Ray memberitahu Kila bahwa pianonya telah terjual, terlihat gurat kecewa dari muka anakku, namun ia berbesar hati merelakannya.
Tidak hanya itu, Ray juga menjual televisi di kamarku hingga ayunan di taman belakang. Dalam sehari semua barang itu terjual. Ray pergi mengirim untuk transaksi Cash on Delivery dengan pembeli. Pulang COD, Ray memberikan uang penjualan barang-barang kepadaku. Aku menerima uang cash tersebut dan menyimpannya untuk membayar biaya sekolah dan kebutuhan sehari-hari kami. Seketika hatiku trenyuh melihat dirinya, aku marah tapi masih menyayangi lelaki yang telah bersamaku 8 tahun ini. Kutanyakan apakah dia perlu uang untuk bensin saat dinas ke Bandung nanti, ia pun menolak. Aku sungguh kasihan padanya.
“Pap, aku minta maaf kalau selama ini aku ga bisa jadi istri yang baik sama kamu. Maaf aku ga bisa memenuhi segala ekspektasi kamu, aku terlalu sibuk sama anak-anak “, sahutku lirih memegang tangannya.
“Iya sama, maafin aku juga ga bisa jadi suami dan ayah yang baik buat anak-anak “, jawab Ray sambil mengelus rambutku. Aku tahu permintaan maaf ini keluar dari hatinya yang dalam dan tulus. Tidak seperti kemarin di rumah mertuaku, kini Ray lebih lembut kepadaku.
“Pap kamu kenapa sih, memangnya kita gak bisa mulai lagi dari nol?” selama ini kita selalu diuji lalu kita bisa bangkit lagi “, ujarku sambil terisak.
“Gak bisa Ran, aku udah pikirin ini matang-matang. Kasian anak-anak harus tumbuh dengan orangtua yang tidak lagi sejalan”, bantahnya.
“Gak sejalan apanya sih? Mana yang gak sejalan? Yang namanya pernikahan gak akan ada yang sama persis satu sama lain. Harus ada yang saling mengalah dan selalu belajar meredam ego masing-masing”, jawabku sambil terus menggenggam tangan suamiku.
“Aduh susah lah jelasinnya Ran, mau dijelasin kaya apa kamu ga ngerti-ngerti. Aku minta tolong sekali aja kamu ngertiin kondisi aku sekarang. Aku harus fokus membenahi semua masalahku. Semuanya udah kusut Ran, KUSUT! “.
“Justru aku sangat sayang sama anak-anak, aku gak mau mereka kena imbas dari semua permasalahan aku. Kamu bisa paham kan “, ujarnya lagi.
Kudengar Kian menangis di tempat tidurnya. Dengan langkah gontai dan lutut yang masih lemas aku meraihnya. Kugendong tubuhnya dengan sekuat tenaga, tanganku gemetar gara-gara percakapan dengan Ray barusan.
“Pap, aku gak tau harus bilang apalagi sama kamu. Aku masih bingung dan gak paham apa yang sebenernya terjadi. Aku minta tolong jangan sakitin aku lagi, kasian Kiana dia harus minum banyak ASI “, pintaku memelas agar Ray menyudahi semua percakapan ini. aku harap ia akan luluh dan memikirkan semuanya baik-baik. Kehadiran Kiana seharusnya bisa meluluhkan hatinya agar bisa merajut rumah tangga seperti sedia kala.
“Justru itu. Aku sangat sayang sama Kiana, Kica dan Kila. Aku sangat sayang sama mereka dan kamu tau itu. Aku harus lepasin mereka dari segala beban hidup aku “, jawabnya sambil berdiri dari tempat tidur dan mengelus Kiana yang kugendong di pelukanku.