Harta Tahta Renata

Ratih widiastuty
Chapter #21

Seleksi (Cerita Renata)

Bip Bip Bip Bip Bip Bip

Terdengar suara ponsel berbunyi nyaring, mencoba membangunkan dari tidur lelapku. Aku baru saja tertidur jam 2 dini hari, saat ini mataku masih terasa berat. Kuindahkan saja panggilan itu, kutarik selimut dan kubenamkan kepala ke bawah bantal.

Bip Bip Bip Bip Bip Bip

Ponselku masih saja berbunyi, aku menyesal tidak mengubah mode silent tadi malam. Kucoba bangun dari kasurku, kupicingkan mata untuk mencari dimana letak ponselku. Sial, ponselku pasti tergeletak di suatu tempat, suaranya terdengar tapi wujudnya tidak kutemukan. Kucoba terus kucari dan kulempar semua bantalku, ah ternyata terselip di sela kasurku.

Daffa calling

“Halo Ma, hari ini aku sama Nenek ke sana ya “, sahut suara anakku di sebrang sana.

“Iya Fa, mama pulang cepet kok hari ini. Kamu sama Nenek sekalian bawa baju aja ya, kalian nginep disini kan “, tanyaku sambil menggaruk-garuk kepalaku. Kepalaku masih pening akibat kurang tidur semalam.

“Iya Ma. Aku bawa dokumen yang harus Mama tanda tangani buat beasiswa. Minggu depan harus dilengkapi persyaratannya. Mama udah bayar buat biaya visa aku kan?” tanya Daffa kembali.

Aku menepuk jidatku dan sekejap saja kantukku hilang. Aku lupa belum mengurus dokumen kuliah Daffa ke luar negri. Aku langsung membuka laptop dan mengecek emailku tentang persyaratan apa saja untuk mengurus kuliah Daffa di Jepang nanti.

“Iya Mama inget, nanti siang mama urus. Udah ya Mama mau ke kantor dulu, nanti sore ga usah makan di rumah, Mama mau ajak kalian makan sama Ivan “, jawabku spontan sambil fokus mengecek email di laptopku.

“Ivan? Om Ivan siapa lagi Ma? Cieee pacar baru mama ya? ledek Daffa sambil cengengesan menggodaku. “Neneeek, mama punya pacar nih namanya Om Ivan! “, jerit Daffa yang membuyarkan konsentrasiku.

“Eh Daffaaaa, apaan sih. Udah ah nanti malem ditunggu disini ya. Bye sayang “, sahutku mengakhiri pembicaraan sebelum Daffa meledekku lebih jauh lagi. Aku memang berencana mengenalkan Ivan pada ibu dan Daffa hari ini. Ivan sudah lama mendesakku untuk bertemu dengan mereka, dia ingin berkenalan lebih jauh dengan keluargaku.

Aku mengambil sebatang rokok di samping kasurku dan menyulutnya, mulutku terasa masam belum menghirup rokok pagi ini. Kumatikan AC kamar, kubuka tirai balkon dan kuberdiri di balkon kamar yang tepat menghadap kolam renang di bawahku. Sayup-sayup terdengar suara jerit tawa anak kecil di bawah yang sedang diasuh oleh ART atau susternya. Aku seringkali menikmati pemandangan anak-anak lucu yang sedang sarapan sambil berenang di bawah, aku teringat saat Daffa masih kecil. Aku menyukai anak kecil, tapi aku tak mau punya anak lagi. Aku membesarkan Daffa seorang diri, hanya dibantu ibuku hingga Daffa sebesar ini. ayah Daffa sama sekali tidak peduli pada kami, dia sudah menikah lagi dan tidak ada itikad untuk mencari anaknya. Kabarnya ia sudah memiliki 2 anak dari pernikahan yang sekarang, pastinya nafkahnya hanya ia berikan pada anak tiri dan istri barunya. Betapa zolim lelaki itu, ia sengaja melupakan kewajiban untuk menafkahi darah daging dan membiarkanku bekerja pontang-panting.

Kini saatku tunjukkan pada Ferdy bahwa aku sudah jauh lebih hebat dan kuat tanpa dirinya. Wanita yang ia tinggalkan sekarang jauh lebih sukses, anak yang kuurus sendiri bisa kuliah ke luar negri dengan mendapatkan beasiswa dari sekolahnya. Lelaki sampah macam dia hanya akan terpana bahwa mantan istrinya bisa move on, aku bisa memilih pria manapun untuk jadi pendamping hidupku. Hanya seorang wanita kuat yang pantas bersanding dengan lelaki hebat, dan kini mereka berada dalam genggamanku. Sudah muak aku dengan cibiran orang-orang tentang statusku, mereka mencemoohku karena aku seorang ibu tunggal bagi Daffa. Mereka berpikir aku mengemis-ngemis pada tiap lelaki untuk membiayai hidup kami. Padahal kenyataannya aku sudah bekerja sedemikian keras, dan bukan salahku jika lelaki-lelaki itu mengejarku. Ingin rasanya kusumpal mulut mereka yang memandang diriku hina, seakan-akan aku akan merebut suami mereka. Seharusnya mereka berkaca sudah sejauh mana mereka jadi bisa istri yang hebat dan bisa mengatur rumah tangga. Perempuan yang hanya berdaster lusuh sambil bergosip di tukang sayur setiap hari bukan levelku. Pantas saja jika suami mereka mencari kesenangan di luar sana.

13.20 WIB - Kantor RENTZ

Meeting siang ini dipimpin oleh Pak Hardian di kantor RENTZ setelah sekian lama ia absen selama Rayendra cuti. Wajah Ray kini terlihat berseri-seri, jauh lebih bahagia dibanding sebelumnya. Pagi-pagi ia sudah meletakkan coklat di atas meja kerjaku. suatu usaha yang bagus untuk mendekatiku, tapi aku masih malas untuk meladeni semua rayuannya. Aku tak pernah menyangka Ray akan senekat ini, ia benar-benar menyudahi hubungan rumah tangganya.

Usai meeting Ray dan Pak Hardian lanjut pergi ke luar kantor. Mereka sudah terbiasa seperti itu, Pak Bos sepertinya rindu dengan anak kesayangannya. Suasana kantor juga jadi lebih ceria gara-gara Ray memesan banyak Pizza untuk semua staf. Target bulanan kami juga tercapai serta aku puas bisa memangkas biaya operasional kantor sehingga kas RENTZ bisa dialokasikan untuk dana marketing. “Good job Renata, you’ve done great “, seruku dalam hati.

PING

Daffa

“Ma aku lewat kantor Mama, temenin makan dong “.

“Kamu di mana? Abis ngapain? “.

Daffa

“Abis ambil sertifikat TOEFL di kursusan deket kantor Mama. Aku udah di depan nih, turun dong “.

Aku bergegas membereskan ponsel dan laptopku. Tiba-tiba ponselku berbunyi, ternyata panggilan dari klienku.

“Halo Mbak Rena, aplikasi nya error atau gimana sih? Saya mau daftar gagal terus dari kemarin”, ujar klienku di seberang sana.

Lihat selengkapnya