Harta Tahta Renata

Ratih widiastuty
Chapter #22

Keseriusan (Cerita Renata)

7.45 WIB - Kantor RENTZ

                     

Sepiring nasi kuning lengkap dengan telur balado tersaji di depan komputerku pagi ini. Siapa yang menaruh nasi kuning favoritku di sini Kulirik ke kanan dan kiri mencari Ari sang office boy kami. Nampak sesosok pria 20 tahunan muncul dari pantry sambil membawa gelas kosong ke meja di samping dispenser.

“Ari, siapa yang pesen nasi kuning? Kok ditaruh di sini?”, tanyaku padanya sambil menunjuk piring tersebut.

“Oh itu, Pak Ray minta saya beliin, buat Ibu katanya “, sahutnya sambil melongok ke mejaku dan kembali menata gelas.

“Ray udah dateng? Tanyaku sambil melahap kerupuk di piringku.

“Udah Bu, kayaknya lagi keluar sebentar sama Mas Fadli “, serunya sambil kembali menuju pantry di pojok ruangan.

Aku duduk di kursi kerjaku sambil melahap nasi kuning yang masih hangat. Aromanya semerbak tercium wangi kunyit dan sambal balado yang menerbitkan air liur. Padahal semalam aku baru saja melahap makanan mewah dengan harga fantastis, tapi rasanya lebih nikmat nasi kuning seharga 15 ribu ini.

Pikiranku langsung tertuju pada Ray. Aku bertanya-tanya di mana ia tinggal sekarang. Sejak ia mendatangi apartemenku malam itu, aku tak mengindahkan pesannya. Aku hanya menjawab pesannya apabila berhubungan dengan pekerjaan. Ivan masih membuatku bimbang, lelaki yang katanya ingin serius itu tak berhasil memenuhi ekspektasiku selama ini. aku sangat kecewa sekarang, padahal aku sudah berharap banyak padanya.

Namun berbeda dengan Ray, meskipun sudah kutolak sedemikian rupa, ia masih gigih untuk meyakinkanku bahwa ia serius denganku. Kuakui perhatian Rayendra padaku selalu membuatku terkesan, perlakuannya membuatku nyaman meskipun ia masih berstatus suami orang. Rayendra meyakinkanku bahwa ia sudah lama mencari sosok wanita sepertiku, wanita yang hebat, kuat, dan cerdas. Ia membuatku seakan-akan aku adalah wanita ideal. Sudah lama aku tak merasakan suatu penghargaan dari seorang pria, kebanyakan dari mereka hanya ingin tubuhku saja. Namun berbeda dengan Ray, ia melihatku sebagai wanita kuat dan cerdas. Tidak ada stigma dalam dirinya saat ia tahu aku seorang ibu tunggal.

“Pagi Mbak Rena, enak banget pagi-pagi udah sarapan nasi kuning aja “, sapa Nurul dan Dimas yang masuk ke ruangan. Nurul terlihat menenteng sekantung gorengan dan meletakannya di piring. Anak-anak IT langsung mengerubungi gorengan yang dibeli Nurul, mereka sibuk berceloteh satu sama lain.

“Kalian liat Mas Ray gak sih?”, tanyaku pada Nurul yang sibuk mengunyah gorengan di kursinya.

“Mas Ray pergi sama Fadli mbak, mau beli perangkat apa lah pokoknya “, jawabnya sambil terus mengunyah.

Entah kenapa hari ini aku mencari-cari Rayendra. Aku merasa bersalah telah mendiamkannya selama nyaris satu bulan. Perlakuan Rayendra pada Daffa kemarin seakan meluluhkan hatiku. Daffa terdengar sangat akrab dengan Ray, bahkan mereka ternyata telah chatting dari kemarin siang untuk membahas perihal kuliahnya di University of Tokyo. Mulai dari membahas biaya sekolah hingga mata kuliah yang Daffa ambil. Daffa mengambil Fakultas Seni Liberal dan Sains di kampus tersebut. Setelah ia berkonsultasi dengan Ray kemarin, Daffa menjadi lebih semangat seakan mendapat pencerahan.

“Mbak Rena jangan lupa hari ini ada meeting sama Pak Hardian ya “, panggil Nurul yang kini tengah menatap agenda di laptopnya. Aku menepuk jidatku, nyaris saja aku lupa ada meeting bersama Ray dan Pak Hardian di kantor pusat. Aku buru-buru menyimpan piringku, lalu aku menghubungi Ray dengan telepon kantor di mejaku.

Lihat selengkapnya