14.00 WIB – Rumah Rania
Kumasukkan daster milikku ke dalam lemari baju yang sudah semakin kosong ini. Semenjak Ray pergi, lemari ini tak pernah penuh lagi. Tidak ada kaos miliknya yang terlipat tak beraturan di dalam lemari. Tidak ada lagi handuk basah yang sering teronggok di atas kasur. Tidak ada lagi celana jeans yang tergantung di pintu kamar yang bekas ia pakai selama berminggu-minggu. Kamar ini semakin sepi, meskipun masih ada anak-anak yang setiap hari bermain kucing-kucingan di kamarku, masih ada gelak tawa mereka saat bermain bersama Kian, namun semua itu tetap berbeda. Semua ini hanya kunikmati seorang diri. Air mataku harus selalu kutahan agar tidak menetes, terutama di depan anak-anak dan ibuku. Setiap aku harus keluar dari kamarku, ku oleskan concealer agar mataku tak kelihatan sembab. Aku selalu mengenakan kacamata kemanapun aku pergi, agar mataku yang selalu bengkak ini bisa tersamarkan.
“Mamaaaa, ada tamu di bawah “, seru Kila sambil melongok ke dalam kamar.
“Siapa Kak?”, tanyaku sambil mencari kacamataku di meja rias.
“Gak tau. Katanya sih cari Papa “, jawab anakku yang kebingungan.
Aku mengenakan jilbabku dan segera turun dari lantai dua lalu keluar menuju teras rumah. Rupanya tamu yang dimaksud adalah lelaki bertubuh tinggi besar sambil berdiri di depan pagar rumah.
“Siang Bu, ini ada surat tagihan dari bank untuk Bapak Rayendra”, ujar pria yang tak asing tersebut sambil memberikan sepucuk amplop. Ia adalah seorang debt collector dari bank tempat kami mengambil kredit untuk rumah ini
“Oh iya, terima kasih. Nanti saya sampaikan sama suami saya “, jawabku sambil menerima sepucuk amplop tersebut dari balik pagar.
“Maaf Bu, kalau boleh tau kenapa Bapak Rayendra belum juga melakukan pembayaran?. Kami kooperatif kok kalau misal Bapak minta keringanan pembayaran, nanti ajukan saja pada kami “, seru petugas bank itu dengan ramah, tidak seperti debt collector lain yang datang menagih dengan kasar.
Aku hanya berdiri tak bergeming, tak tahu harus menjawab apa pada debt collector tersebut. Ray sudah pergi dari rumah ini, sudah tak mungkin lagi ia membayar cicilan rumah. Meskipun Ray sudah mengiklankan rumah ini di internet, namun saat ini belum ada tanda-tanda ada pembeli. Jangankan untuk membeli, yang datang untuk melihat-lihat saja belum ada. Setiap bulannya aku yang harus menghadapi debt collector yang mencari Ray, dan aku tak tahu harus berkata apa.
“Bu, anaknya sudah lahir ya?”, pertanyaan Bapak itu membuyarkan lamunanku. Ia tengah mengamati perutku yang sudah tidak buncit lagi.
“Iya Pak, saya melahirkan bulan lalu. Oya soal tagihan nanti saya informasikan sama suami saya agar segera mengurusnya. Dia sudah pergi ke Bandung lagi, jadi sedang tidak disini “, jawabku pada bapak tersebut.
“Waduh baru lahiran sudah ditinggal suami, sabar ya Bu. Kalau Bapak perlu keringanan untuk pembayaran, langsung saja hubungi kantor. Nanti pasti kami bantu. Saya pamit ya, Assalamualaikum “, pamitnya sambi memasuki mobil MPV hitam.
“Waalaikumsalam “, jawabku sambil menatap sepucuk surat di tanganku. Aku berjalan masuk ke dalam dan kujatuhkan badanku di sofa. Kubaca tagihan bank yang ternyata kami sudah menunggak 2 bulan. Kuhela nafasku dalam-dalam, dadaku terasa sesak tak tahu harus bagaimana. Haruskah kuhubungi Ray? Apa ia masih mau membahas soal rumah ini. Pembayaran cicilan selama 1 bulan saja ia tak sanggup, apalagi selama 2 bulan.
“Kakak, tolong ambilin Hp Mama di kamar dong Nak “, panggil anak sulungku yang sedang bermain di teras belakang. Ia berlari saat kupanggil namanya, lalu bergegas ke kamarku di lantai 2 untuk mengambil ponselku.