15.00 WIB – Rumah Rania
Kudengar suara deru motor yang sudah tak asing lagi di telinga. Motor itu milik Mas Agus ojek jemputan Kila. Kulihat Kila turun dari motornya sambil menenteng tas punggung yang terlihat berat. Hari ini ia berenang, pantas saja bawaannya menjadi banyak. Belum lagi tas folder yang yang harus ia bawa setiap hari. Tubuh kurusnya limbung karena keberatan, mungkin ia juga sudah kelelahan.
“Kakaaaak, kamu pulang. Kok lama banget sih kak “, jerit Kica menyambut kakak satu-satunya di depan pintu. Ia mengulurkan tangannya untuk membantu membawakan tas milik Kila. Kedua kakak-beradik itu terlihat menenteng tas di tangannya masing-masing.
Aku bersyukur di tengah-tengah kesedihan yang luar biasa ini, Allah memberikan anugrah berupa putri-putri yang manis, saling menyayangi satu sama lain. Meskipun mereka kerap bertengkar sebagaimana layaknya anak-anak pada umumnya, tapi mereka bak anak kembar yang tak bisa dipisahkan. Mereka saling menguatkan, berbagi keceriaan dan selalu menghibur satu sama lain. Apalagi setelah hadir si kecil Kian, dialah pengobat luka batin kami. Kian adalah alasan mengapa aku tak boleh berlarut dalam kesedihan, memasrahkan diri pada Allah atas segala cobaan dan bersyukur atas semua nikmat yang diberikan sampai detik ini.
“Kak bekalnya habis gak?”, tanyaku pada si anak sulung yang sedang jongkok membuka sepatunya di pojokan.
“Habis dong, aku laper habis berenang soalnya “, jawabnya sambil merebahkan tubuhnya di sofa.
“Mam, aku barusan liat rumah di pinggir jalan pas berangkat sekolah. Aku liat banyak rumah yang tulisannya “Dijual”. Aku mau bantu cari rumah kalau kita pindah nanti “, ujar Kila dengan polosnya. Wajahnya nampak serius namun berhasil membuatku menahan senyum bercampur haru.
“Oya? Makasih Kak. Tapi kita cari rumah yang tulisannya “Disewakan” aja dulu ya. Soalnya kita mau menyewa rumah dulu, belum bisa beli rumah baru “, jawabku sambil mengelus kepala anak sulungku.
“Oh gitu ya, oke kalau gitu, nanti aku cari lagi Mam “, ujarnya sambil beranjak ke lantai dua, biasanya dia hendak berganti baju dengan pakaian rumah.
Kuperhatikan anakku yang berlalu menuju kamarnya di atas. Aku tak menyangka anak berumur 7 tahun itu begitu dewasa, tak pernah terpikirkan olehku untuk mencari rumah saat ini. Aku memang kerap melihat-lihat rumah yang disewakan di internet, namun aku tak berani bertanya pada pemilik rumah. Aku tidak memegang uang yang cukup saat ini. Uangku hanya tinggal beberapa lembar ratusan ribu hasil penjualan piano yang Ray berikan padaku saat terakhir ia masih disini.
“Kica udah solat Ashar belum, solat yuk barengan sama kakak”, ujarku sambil menggiring anakku ke kamar. Ku titipkan Kian ke kamar Ibuku agar aku bisa bercengkrama sejenak dengan kedua kakaknya. Sebisa mungkin aku harus memberikan perhatian dan quality time agar mereka masih merasa diperhatikan, terlebih lagi setelah Ray tiada.
Seperti biasa aku berdiri menjadi imam, kedua putriku berdiri di belakang. Kila sudah hapal bacaan solat, namun tidak bagi Kica. Ia masih mengikuti gerakan kami sambil kadang tertawa-tawa. Seusai solat mereka bergantian mencium punggung tanganku tanganku. Kuelus kepala mereka sambil bertanya.
“Kalian minta apa sama Allah”, tanyaku sambil menoleh pada Kila.
“Mmmmhh, aku minta istana di surga sama Allah. Aku pengen kita semua berkumpul di surga sama-sama. Kita gak jauh lagi sama Papa”, ujarnya pelan. Jawaban Kila berhasil membuat air mataku tergenang.
“Aku juga mau istana di surga. Di surga ada kuda pony-nya ya. Istana nya jauh lebih besar dari rumah ini” sahut Kica tak mau kalah dengan ekspresi polosnya.
“Aamiiin, Inshaallah. Semoga kita semua bisa berkumpul suatu saat di Surga. Jadilah anak sholeha, takut sama Allah, nanti bawa Mama ke surga bersama kalian ya“, jawabku terharu hingga air mataku tak terbendung lagi.
Kami bertiga akhirnya saling berpelukan. Aku tau kerinduan mereka yang begitu dalam, namun mereka mencoba tegar sama sepertiku. Terlebih lagi Kila si anak sulungku, sepertinya kesedihannya sudah lama ia pendam namun enggan untuk diungkapkan. Ya Allah, aku meminta petunjuk-Mu atas setiap keputusan yang akan kubuat, aku meminta kekuatan dan keikhlasan untuk menjaga titipan-Mu. Kupasrahkan hidup dan matiku, rejeki serta jodohku. Jika Ray memang takdirku, maka kembalikanlah ia seperti dulu dan bawa Ray kembali ke pelukan kami.
20.30 WIB
PING
“Rania, ini gue Dion. Apa kabar Ran?”
Sebuah pesan WhatsApp dengan nomor tak dikenal masuk saat aku sedang membaca portal berita online sambil menyusui Kian.
“Baik Dion. Lo apa kabar?”
Tumben Dion mengirim pesan padaku. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, itupun saat pertemuan pertama di sebuah café saat Ray akan meeting untuk membahas project mereka. Jika Dion menghubungiku karena pekerjaan Ray, aku sama sekali tidak menahu soal masalah itu.
“Lagi sibuk gak Ran? Ada yang mau gue obrolin”.
Sontak jantungku berdebar dengan pertanyaannya, entah mengapa firasatku tak enak.
“Gak sih lagi tiduran nemenin anak gue. Tentang apa ya?”
Aku menjawab pesannya dengan panik sampai berulang kali salah memencet tombol keyboard di layar ponsel.
“Maaf kalau gue lancang. Sebelumnya gue turut sedih atas apa yang menimpa hubungan kalian “.
Kali ini benar firasatku, Dion akan membicarakan tentang keadaan rumah tanggaku. Dion adalah rekan kerja Ray, pastinya Ray sudah memberi tahu Dion tentang ini.
“Iya makasih. Kalau ada yang mau dibicarin boleh, kebetulan anak gue udah tidur”.