08.00 WIB – Jl Dago
“Halo Ray, gimana nih proyek kita? sapa Om Yan di telepon saat aku sedang mengendarai mobilku menuju kantor pagi ini.
“Halo Om Yan, ada kabar baik nih. Aku sudah dapet investor yang gabung sama proyek kita. Mereka pengusaha di Bandung kenalan asistenku”, jawabku bersemangat sambil fokus memegang kemudi.
“Wah mantap Ray, siapa mereka? “, tanya Om Yan balik.
“Pengusaha property juga Om, tapi mereka gak mau tampil, jadi biar asistenku yang maju. Namanya Rena Om, dia business manager di perusahaanku. Rena ini tangan kanan dari Hardian Hardjawinata “, jawabku sambil meyakinkan Om Yan yang terdengar antusias.
“Oh pengusaha Bandung ya, boleh lah kita lanjut secepatnya ya. Mereka mau minta saham berapa? Minimal Om minta 40% aja”, tutur Om Yan tanpa basa-basi.
“Mereka minta 60% aja kok Om, dana juga sudah siap. Kita bisa langsung mulai nih. Aku sama Dion buat perencanaan bisnisnya ya Om “, Balasku cepat sambil melirik ke arah wanita disampingku yang tengah berdandan.
Renata terlihat mengerjap-ngerjapkan matanya tak percaya, bibir tipisnya mengembang dan wajahnya sumringah. Aku berusaha untuk berkonsentrasi di balik kemudi sambil berbicara dengan Om Yan di sebrang sana.
“Kalian atur aja lah. Om yakin kamu dan Dion itu konsultan handal, sanggup merancang bisnis ini sesuai kebutuhan pasar. Nanti kabari Om kapan harus teken kontrak, dana udah siap cair pokoknya “, jawab Om Yan dengan kabar yang sangat melegakan hatiku.
Seketika segala permasalahanku sirna. Terlihat secercah harapan agar aku bisa keluar dari segala permasalahan yang membelitku selama ini. Renata menjerit kegirangan sambil menarik-narik lenganku.
“Yeaaaay, si Om mau dapetin saham minoritas nih ?”, tanya Rena seakan tak percaya dengan pembicaraan kami.
“Iya Ren. Dia orang yang gak butuh duit, proyek ini dia buat karena ada lahan nganggur aja “, jawabku sambil tersenyum pada wanita yang tengah berdandan sambil mengenakan rol rambutnya.
“Jadi skenarionya gimana nih?, aku maju pake duit siapa Mas? “, tanya Rena sambil membubuhkan maskara sambil menatap layar cerminnya.
“Aku punya dana nih 3M, sementara kita bisa keluarkan segitu dulu untuk satu tahun. Nanti aku rancang uangnya untuk pembangunan wisata selfie. Targetku dalam waktu 3 bulan, wisata selfie ini sudah selesai dan bisa segera dibuka untuk umum “, jelasku pada Renata yang berkonsentrasi dengan riasan matanya.
“Setelah 3 bulan kita bisa mulai dapat keuntungan Mas. Nanti setelah kita bagi deviden, uangmu bisa balik lagi ko. Nanti aku hitung agar kita bisa investasi bisa kembali dalam jangka waktu cepat.
“Nah ini Renata, udah cantik pinter ngatur duit lagi “, seruku bangga sambil mencolek dagunya.
“Iyalah, gak kaya mantan istrimu kan Mas “, ujarnya sambil mendelik manja padaku.
Aku hanya tersenyum sambil melemparkan tatapan ke jalanan di depanku. Jalanan di area Jl Merdeka ini masih lengang. Mobil kami melaju cepat dalam suasana pagi yang cerah, secerah hatiku yang sedari kemarin diselimuti kelabu. Hatiku sebenernya pilu menahan rindu pada anak-anakku. Tapi aku harus kuat, aku harus membenahi semua masalah ini satu-persatu.
“Mas, sebelum proyek ini mulai aku mau jalan-jalan dong”, bujuk Renata sambil menarik lenganku manja.
“Boleh dong sayang, kamu mau kemana? Luar negri yuk “, jawabku cepat.
“Aduh ngapain sih ke luar negri, sayang uangnya nanti. Aku cuma mau ke Bromo Mas. Nanti kita ajak anak-anak kantor aja. Pak Hardian kan mau buka Hotel di Semarang, jadi kita bisa Java Trip tuh sekalian “, ujarnya sambil membuka gulungan rol rambutnya.