16.30 WIB – Kantor RENTZ
Batinku masih geram saat Rania men-tag diriku di Instagram. Dia pasti menuduhku perebut suami orang. Maksudnya apa memberi emoticon hati padaku? Kalau dia berani seharusnya langsung saja datang kemari dan berbicara langsung denganku. Rania jelas-jelas bukan kelasku. Dia hanya seorang wanita rumahan, tak punya penghasilan, tidak bisa mengurus suami dan bisanya menghambur-hamburkan uang.
Rania, kamu pikir kamu siapa! Wajah saja pas-pasan, sok mau jadi nyonya besar. Suamimu tak puas dengan dirimu, tak puas dengan pelayananmu, jangan harap ada lelaki yang sudi menjadi pendamping hidupmu. Amarahku semakin menjadi-jadi saat melihat foto Rania di Instagramku. Melihat senyumnya saat ia berlibur bersama Ray dan anak-anaknya membuatku muak. Ia kerap menulis caption bijak bak malaikat, seakan hidupnya sempurna tanpa cela.
“Mbak Renata ada yang nunggu di bawah”, seru Nurul mengagetkanku dari balik mejanya.
Aku langsung tersadar dari lamunan yang sedari tadi mengembara membayangkan sosok Rania. Kurasa aku telah membuang-buang waktu memikirkan perempuan itu. Aku segera turun ke lobby untuk menemui tamu yang dimaksud Nurul tanpa berpikir panjang lagi. Mungkin memang seharusnya aku menemui klien baru agar pikiranku teralihkan.
“Halo Ran, apa kabar?”, sapa sesosok pria tambun dengan brewok menghiasi wajahnya. Rambut yang di cat pirang bersembunyi dibalik topi fedora hitamnya.
“Benny! Ngapain kesini “, tanyaku setengah berbisik.
“Gue abis lewat daerah sini terus mampir deh “, jawabnya sambil membetulkan topi fedora yang ia kenakan.
“Terus mau apa? Jangan pernah samperin gue di kantor! “, bentakku pada lelaki yang sedang tersenyum simpul kepadaku.
“Mau nagih jatah gue lah, masa lo ga punya duit terus sih Ren? ”, sindirnya sambil terkekeh. Sesekali ia melirik ke sekeliling kami dengan tatapan waspada.
“Jatah lo yang mana lagi sih Ben? Lo tuh kebiasaan kalo ada butuhnya meras gue. Sekarang gue sibuk kerja, gak ada lagi urusan sama lo”, jawabku tegas.
“David masih urusan gue loh Ren, sampe detik ini lo masih simpenan dia kan?”, tukasnya sambil tersenyum sinis.
“Gak lah, gue gak ada urusan sama dia ataupun David yang lain. Gue sudah menyudahi semuanya, Ben. Please jangan ganggu gue lagi “, pintaku sembari sedikit memelas padanya.
“Inget loh Ren, Ivan anak anggota dewan yang sama sekali gak bisa lo permainkan. Lambat laun mereka bisa tau siapa lo “, ancam Benny sambil melengos.
“Oke lo mau apa? Mau berapa? “. Tanyaku gemas menahan emosi yang sudah tak tertahan lagi.
“Gak banyak lah, 3 juta ditransfer aja. Ditunggu maksimal jam 18.00 “, jawab Benny sambil berlalu tanpa basi-basi. Kulihat tubuh tambunnya melenggang ke parkiran dan masuk ke dalam mobilnya.
Aku hanya bisa menghela napas menahan amarah, hari ini cukup menguji kesabaranku. Aku kembali ke mejaku sambil mengutuk Benny yang selalu memerasku. Biasanya dia memerasku untuk membeli narkoba, pemadat seperti dia akan berusaha menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang.
Setiba di mejaku aku mendapati banyak missed call yang tak kuangkat. Ivan telah menghubungiku berkali-kali, namun aku malas menghubunginya kembali. Entah kenapa perasaanku berangsur memudar padanya, inginku putuskan tapi tak bisa.
PING
Ivan
“Yang, aku udah di parkiran ya”.
Sebaris pesan muncul di notifikasi ponselku. Rupanya ia telah menungguku di parkiran untuk menjemput. Biasanya dia pulang malam, namun tumben hari ini dia pulang cepat.
“Oke, aku masih meeting”
Padahal aku sudah tak ada pekerjaan yang harus kuselesaikan lagi. kucoba membuka browser di laptopku untuk menyibukkan diri, tapi pikiranku sedang suntuk. Satu jam lagi aku harus mentransfer 3 juta pada Benny, rasanya tak ikhlas uangku kuberikan begitu saja. Namun jika aku diamkan, Benny akan semakin menjadi-jadi.
“Yang aku minta tolong bisa ga “.
Jemariku menari pada tuts keyboard di ponselku dan kupencet tombol sent pada Ivan.