Ping
Ping
Ping
Sial, pesan dari siapa itu masuk sepagi ini. Mataku masih berat karena kelelahan sepulang dari Java trip kemarin malam. Kuindahkan notifikasi ponselku yang berbunyi, kubalik badan sambil memeluk wanita yang ada di sampingku. Renata masih tertidur dengan pulas dibalik selimut yang membalut tubuh kami.
Bip Bip Bip Bip Bip Bip
Bip Bip Bip Bip Bip Bip
“Mas Hp mu bunyi tuh, angkat dong berisik “, ujar Renata dengan suara parau.
Arrrgggh, siapa pula yang menghubungiku sepagi ini. Kucoba bangun dari tidurku dan beranjak mengambil ponselku yang masih terselip di ranselku. Kurogoh dengan susah payah hingga akhirnya kudapati di sela-sela baju kotor.
Dion calling
“Halo Ray, kemana aja sih lo kemaren?”, bentak Dion dengan suara khas-nya.
“Gue abis dines luar kota “, jawabku singkat.
“Gila lo seminggu ga baca WA, ga bales email, kerjaan lo mana Ray?”, cecar Dion.
“Sibuk, gue gak sempet kerjain “, jawabku dengan malas.
“Oke kalo gitu berarti kita sepakat ya. Gue lagi OTW ke Bandung dan mau ambil buku tabungan & ATM perusahaan yang lo pegang. Project kemaren gue take over sama temen gue “, jawabnya dengan nada yang meninggi.
“Wait, ga bisa gitu lah Bro. Gue udah bayar programmer, ga bisa lo ambil seenaknya gitu dong “, timpalku tak kalah sengit.
“Lo ga becus kerja gimana mau kelar urusan kita? Invoice kudu segera cair nih Ray. Kalo enggak dibayar anak gue ga bisa maka”, cecar Dion.
“Sabar, tar ketemu jam 14.00 di Starbucks Dipati Ukur “, ujarku sambil menutup panggilan telepon kami.
Mendengar suaranya membuat emosiku memuncak kali ini. pasti ialah yang memberitahu Rania soal hubunganku dengan Renata. Tak kusangka sahabat sekaligus partner kerjaku mengkhianatiku dari belakang. Misiku kini adalah segera masuk ke dalam project Om Yan dengan uang perusahaan, menyelesaikan project yang masih berjalan agar uang tersebut bisa segera kulunasi. Setelah itu aku akan melepaskan diri dan tidak terlibat pekerjaan lagi dengannya.
“Siapa Mas? Kok bengong sih “, tanya Renata dari balik selimutnya.
“Dion, dia mau ketemu nanti siang di kantor “, jawabku sambil kembali menjatuhkan badanku ke kasur.
“Mau bahas project yang Bogor ya Mas? Aku ikut deh biar bisa sekalian ngobrol-ngobrol “, ujarnya antusias sambil memeluk badanku.
“Enggak Ren, cuma bahas project yang kemarin. Kamu istirahat aja disini, biar aku yang ketemu Dion. Lagian kamu pasti cape abis nge-trip “, jawabku sambil membelai kepala Renata yang menjatuhkan kepalanya di dadaku.
“Jadi aku gak boleh ikutan nih?”, tanyanya sambil menggelitik perutku.
“Enggak, kamu disini aja. Dion itu brengsek orangnya, nanti kalo dia naksir kamu gimana “, godaku sambil balas menggelitik pinggangnya.
Kami saling tertawa dan tenggelam dalam romansa cinta yang semakin menggelora. Akhirnya aku melamarnya saat di Bromo, dan ia bersedia menjadi istriku. Setelah urusanku dengan Rania selesai, aku akan menikahinya sesegera mungkin.