10.00 WIB – Rumah Rania
Si montok Kian sedang berguling-guling di kasur sambil mengoceh dengan riangnya. Pipinya yang gembil membuatku gemas ingin terus menjawil. Sesekali ia mendekut mengeluarkan suara aaaah-oooooh sambil memonyongkan mulutnya dengan riang. Fase seperti ini adalah masa paling indah bagi ibu yang baru melahirkan, kelucuan anak bayi itu sungguh mengagumkan.
PING
Geng Oplos
Nayla: Gaes pada masak apa hari ini?
Mita: Ayam goreng kuning, sayur lodeh bumbu instan dong.
Fika: Weis mewah Mit. Biarpun bumbu instan yaaah.
Nayla: Aduh males masak nih, gue beli sop iga aja deh.
Tasya: Tar jangan lupa sop nya oplos aer yah. Cemplung wortel, kentang kasih garem lagi. Kalo perlu baso sama sosis sekalian jadi dapet banyak wkwkwk.
Mita: Modal 30 rebu bisa buat makan malem yah Sya.
Nayla: Sayur oplosan apalagi dong biar dapet banyak?
Aku hanya tersenyum menyimak percakapan random mereka pagi ini. kugeleng-gelengkan kepala dengan tips sayur oplosnya. Sesekali mereka pamer makanan yang dibuat dengan bumbu instan, itupun kadang mereka gagal. Sungguh pertemanan yang berfaedah, grup ini memang tempat kami ‘buang sampah’.
“Ran ada yang nyari tuh si bawah “, panggil ibuku dari balik pintu. Ibuku lalu menghampiri Kian sambil mencium-cium pipi gembilnya.
“Siapa Ma? Orang bank lagi ya “, tanyaku sambil mengganti baju.
“Kayaknya sih, soalnya bawa surat gitu “, jawab ibuku.
Aku menuruni tangga menuju ke teras rumah. Kulihat sesosok pria membawa tas berisi surat. Pria itu memakai seragam abu-abu, tidak seperti debt collector yang biasa menagih tagihan rumah.
“Ibu Rania Chairunnisa?”, tanya pria tersebut memastikan namaku.
“Iya Pak saya sendiri “, jawabku menghampirinya dari balik pagar.
“Suaminya Rayendra Saputra?”, ini ada panggilan sidang dari Pengadilan Agama Tigaraksa Bu” ujarnya seraya memberikan surat dengan amplop warna coklat kepadaku.
Lututku lemas seketika. Surat panggilan itu masih berada di tanganku, dengan ekspresi shock, aku hanya berdiri sambil memandangi amplop coklat tersebut. Nampaknya kurir tersebut tidak sampai hati membiarkanku berdiri mematung.
“Bu, maaf bisa tanda tangan dulu disini?”, tanyanya sopan.
“Kalau saya tidak datang bagaimana Pak?”, tanyaku ketus.
Kurir itu menarik kertas tanda terima dan terdiam sejenak.
“Maaf Bu, boleh saya bantu lihat suratnya?”, tanya kurir itu kembali. Kuberikan surat itu padanya, mataku terasa panas dan tanganku sedikit bergetar.