08.00 WIB – Apartemen Renata
“Halo Pak Ray, surat dari pengadilan sudah saya terima ya. Bapak menjalani sidang Rabu depan dengan agenda mediasi. Kalau Ibu Rania tidak hadir, maka akan masuk ke agenda berikutnya. Tiga kali tak hadir berturut-turut maka putusan dijatuhkan secara Verstek “, ujar Pak Saragih dalam sambungan telepon.
“Iya Pak, saya serahkan semuanya sama Bapak. Rania tidak akan hadir, ia sudah menyepakati perceraian “, jawabku dengan sumringah.
“Bagus kalau begitu, prosesnya bisa lebih cepat kalau pihak termohon tidak hadir “, ujar pengacaraku tersebut.
“Baik Pak, atur saja semuanya ya “, jawabku dengan penuh kelegaan.
“Pak Ray sudah menyiapkan uang Iddah, Mut’ah dan Hadhanah untuk mantan istri?, lebih baik bapak tulis nominalnya dalam formulir yang saya berikan kemarin“, perintah Pak Saragih.
“Belum ada sih pak, wajib ya kasih uang tersebut untuk mantan istri?”, tanyaku balik.
“Wajib pak, suami yang menggugat cerai istri diharuskan membayar Iddah selama 3 bulan, Mut’ah (kenang-kenangan) dan Hadhanah (nafkah anak). Semuanya harus berupa uang. Tapi besarannya nanti diputuskan hakim, yang penting bapak ajukan dulu nominalnya sesuai kemampuan “, jelasnya.
“Baik Pak, nanti saya cari dulu dananya “, jawabku sambil memutar otak.
“Terima kasih Pak Ray, nanti saya update minggu depan “.
Tut Tut Tut
Kututup sambungan telepon itu dengan penuh kelegaan. Akhirnya semua masalahku telah terselesaikan satu-persatu. Aku yakin proses cerai diriku akan berlangsung cepat, apalagi aku telah membayar pengacara untuk mengurus semuanya sampai selesai. Rania sudah kupastikan tidak akan hadir, dalam waktu 2 bulan akta cerai itu sudah akan berada di tanganku.
“Telepon dari siapa Mas?”, tanya Renata yang keluar dari kamar mandi dibalut handuk berwarna ungu.
“Pak Saragih, pengacara yang ngurus persidangan aku “, jawabku sambil menatap tubuh molek di hadapanku.
“Berapa lama prosesnya?, dulu persidanganku cuma bentar kok. 1,5 bulan juga selesai kalo termohon gak dateng”, jawabnya sambil mengeringkan rambutnya di depan cermin.
Iya, Pak Saragih juga bilang begitu. Dua bulan lagi Renata Rahardjo akan jadi Nyonya Renata Saputra”, ujarku sambil berdiri memeluk tubuh Renata dari belakang. Hasratku tak pernah bisa tertahankan melihat kemolekan tubuh dan parasnya yang menggairahkan. Semua yang ada dalam dirinya adalah impianku sejak lama, hingga akhirnya Tuhan mempertemukan kami berdua dalam waktu yang salah. Namun yang aku yakini, takdir itu tidak akan pernah salah.
“Jadi kapan kamu mau dateng ke keluargaku?”, tanyanya.
“Sekarang juga, aku ingin meminta restu pada Ibu dan Daffa “, jawabku dengan penuh keseriusan.
“Oke, nanti siang kita ke rumah Ibu ya. Kamu pastiin dulu proses sidang udah selesai, nanti aku malu kalo ketauan bahwa kamu belum resmi cerai”, jawabnya manja.
“Siap Nyonya Rayendra, aku pastikan 2 bulan lagi proses ceraiku sudah selesai”, jawabku sambil mencium leher jenjang Renata. Semerbak tercium aroma vanilla yang membuat libidoku semakin memuncak. Kami saling mencumbu dalam desiran hasrat yang menggebu-gebu, seolah merayakan kebebasan setelah sekian lama hasrat ini terbelenggu.
13.00 WIB – Rumah Ibu Renata
“Jadi Ray serius nih sama Renata?”, tanya wanita yang kira-kira usianya sama dengan ibuku.
“Iya Bu, saya serius mau menikahi Renata. Saya sudah lama berpisah sama mantan istri saya sejak lama, tapi memang belum sempat saya urus karena tidak ada waktu “, jawabku berusaha meyakinkan ibunya.
“Jadi belum resmi cerai dong?”, tanyanya terkejut.
“Sudah Bu, cuma akta cerai saja yang belum keluar dari pengadilan. Mungkin 2 bulan lagi selesai. Ini kan cuma persyaratan administratif saja, dokumen bisa menyusul kok “, jawabku mantap.
“Oh begitu. Ya kalo Ibu sih terserah Renata dan Daffa saja. Mereka yang akan menjalani hidup sama Mas Ray. Ibu turut bahagia kalau ada yang sayang sama Rena dan Daffa. Tolong jaga anak dan cucu ibu, saya harap ini pernikahan terakhir bagi Rena “, pinta Ibunya dengan penuh ketulusan.
“Insyaallah Bu. Renata ini wanita impian saya selama ini, akan saya jaga hingga akhir hayat saya “, jawabku penuh kesungguhan.
Renata tersenyum lega mendengar percakapan kami berdua sambil memeluk anak kesayangan satu-satunya. Gadis berusia 17 tahun itu tersenyum padaku. Dalam seketika hatiku diliputi kebahagiaan yang amat sangat, perasaan ini sudah lama tidak aku dapatkan. Seketika aku bangun dari dudukku dan bersimpuh pada Ibu yang telah melahirkan Renata, kucium lembut punggung tangannya dengan khidmat. Ibu mengelus rambutku sambil berujar;
“Semoga kamu menjadi suami dan ayah yang baik bagi Rena dan Daffa, Ibu merestui kalian “, bisiknya dengan penuh kelembutan.
Seketika tangisku pecah, rasa rindu akan belaian ibu terobati, setelah sekian lama aku tidak bertemu dengan ibu dan keluargaku. Calon mertuaku memeluk tubuhku erat, kami berangkulan dalam penuh rasa haru dan kebahagiaan.
“Aduh, kok kaya tali kasih gini sih “, canda Daffa sambil terkekeh.
“Iya nih, calon suami gak mau meluk calon istri sama anak nih”, goda Renata sambil meringis.
“Ya dipeluk lah, sini Daffa Ayah peluk “, senyumku pada mereka berdua.
“Cie..cie.. yang mau dipanggil Ayah, oke deh Ayah, aku merestui kalian ya “, ujarnya sambil membalas pelukanku.