12.05 WIB – Rumah Rania
Tok Tok Tok
“Mamaaa, ada yang ketok pintu tuh “, panggil Kica saat aku sedang memasak di dapur. Aku segera mencuci tangan dan mengenakan jilbabku. Dengan rasa penasaran aku berlari kecil untuk membukakan pintu.
“Siang Ibu Rania, saya mau lihat rumah lagi, apa masih bisa?”, tanya sesosok pria yang familiar wajahnya, kini ia datang bersama seorang wanita, pasti dia adalah istrinya.
“Siang Mas Ilham, ayo silakan”, jawabku sambil mempersilakan mereka berdua untuk masuk.
“Sudah ada penawaran dari pembeli lain Bu? Tanyanya padaku sambil menjatuhkan badannya di sofa.
“Belum kok mas, baru Mas Ilham saja yang liat-liat rumah “, ujarku.
Istrinya hanya diam tanpa sepatah kata, namun matanya sibuk menyapu seluruh penjuru rumah. Sorot mata itu persis seperti saat aku melihat rumah ini, suatu tatapan penuh harap agar kami bisa memiliki tempat tinggal yang nyaman untuk keluarga kecil kami.
“Rumahnya resik ya, Ibu rajin banget kayanya ngurus rumah “, seru wanita muda tersebut.
“Enggak kok, ada Mbak yang bantu beres-beres “, jawabku.
“Untuk seukuran yang punya anak kecil, ini rapih bukan main “, ujar Mas Ilham sambil melongok anakku yang sedang menguping di balik pintu.
“Ini lagi rapi kok mas, tar siangan dikit kaya kapal pecah “, jawabku kembali.
“Istri saya cocok dengan rumahnya, sepertinya kami mau mengambil rumah ini”, ujarnya.
Seketika saja hatiku diliputi rasa lega. Alhamdulillah doaku dikabulkan oleh Allah. Meskipun aku harus kehilangan rumah ini, tapi bebanku berkurang sedikit demi sedikit.
“Alhamdulillah, akhirnya rumah ini ketemu jodohnya juga. Mas sama Mbak mau lihat-lihat lagi ke atas?”, tanyaku penuh antusias.
Aku segera mengantar mereka melihat-lihat ke setiap penjuru rumah. Mereka saling bergandengan tangan penuh kebahagiaan sambil sesekali menunjuk kamar anakku sambil membayangkan posisi tempat tidur dan lemari yang akan ditempatkan. Aku memperhatikan kemesraan mereka sambil tersenyum, meskipun hati ini masil diliputi rasa pilu. Namun tidak sedikitpun terbersit rasa iri melihat kemesraan mereka.
“Di sini buat kamar ade, nah di ruangan sana buat tempat belajar “, ujarnya sambil menunjuk setiap sudut ruangan. Aku hanya tersenyum melihat istrinya sedang mengatur, sedangkan suaminya hanya mendengarkan sambil mengangguk-angguk.
“Mas Ilham gak masalah kan take over rumah ini? Kalau mau dilunasi juga boleh sih. Nanti tinggal konfirmasi pihak Bank “.
“Gak apa-apa mbak, malah saya lebih enak kalo take over. Memang rencananya mau dilunasi kalau ada rejeki lebih “, jawabnya dengan penuh keyakinan.
“Kemarin saya di dihubungi sama suami Ibu, katanya pembayaran di transfer ke rekening Pak Ray “, ujarnya.
Aku terdiam mendengar perkataannya, Ray sama sekali tidak menghubungiku tentang pembayaran rumah ini. Jika ia pegang semua uangnya, bagaimana aku bisa mengontrak rumah?
“Saya maunya transfer ke rekening Ibu saja boleh tidak?”.
Pertanyaan Mas Ilham sontak mengagetkanku. Apa yang harus katakan pada Ray apabila uang take over ada di tanganku?
“Boleh Mas, biar saya yang kabari suami “, jawabku.
“Baik Bu, silakan di WA saja nomor rekeningnya, nanti sore saya transfer sebagian. Lalu sisanya saya transfer akhir bulan “.
“Oke Mas. Oya, kapan kalian mau tempati rumahnya? Saya mau minta waktu beberapa minggu untuk cari rumah kontrakan dan persiapan pindahan”, tanyaku.
“Santai aja Bu, saya juga belum bisa pindah dalam waktu dekat. Kemungkinan 1 bulan lagi kami isi rumah ini. Apa itu cukup bu?”, tanyanya dengan halus.
“Gak masalah Mas, mudah-mudahan saya dapet rumah kontrakan”, jawabku.
Tak lama kemudian mereka berdua pamit, hatiku diliputi kelegaan. Lega karena rumah ini sudah terjual pada pasangan baik seperti mereka. Yang aku herankan, mengapa Mas Ilham tidak mau mentransfer langsung ke rekening Ray?
Bip Bip Bip Bip Bip Bip