12.30 WIB – Starbucks Citos
Kuhirup kopi espresso yang baru saja kupesan dengan perlahan, sambil menatap sesosok wanita berkacamata yang duduk sendirian di depan mejaku. Rambutnya yang coklat terikat ekor kuda, tanpa make up tapi manis cukup menggoda. Dahulu, wanita seperti itulah yang sering aku kencani, entah sudah berapa kali aku meniduri wanita seperti dia.
Namun kini semua telah berubah. Terkadang hasrat libidoku menyeruak tatkala sang wanita menggoda, tapi sudah kubulatkan tekad untuk menyudahi semua perbuatan bejatku. Aku tersadar saat Sean berulang tahun yang ke-8, dia sangat merindukanku di sampingnya.
“Daddy, please jangan sakitin Mommy terus. Aku pernah janji sama Mommy, kalau ada yang sakitin Mommy, aku pasti akan balas sakitin dia “.
Ucapan anak lelaki satu-satunya itu mengiris hatiku. Apa jadinya jika ayahnya lah yang menyakiti ibunya, akankah dia balas menyakitiku suatu saat nanti? Aku berandai-andai Sean telah dewasa dan melakukan hal yang sama seperti yang kubuat, hatiku pasti hancur saat ia mengatakan telah meniduri banyak perempuan.
Nadine, istriku yang dulunya cantik bukan main, kini kecantikannya seakan memudar. Gurat lelah selalu terpancar dari wajahnya. Aku sudah berpacaran dengannya sejak bangku kuliah. Drama putus-nyambung sudah biasa dalam hubungan kami. Tapi ia sangat sabar mengahadapi kelakuanku yang brengsek ini. Selama menikah ia memutuskan resign dari kantornya, dan memilih menjadi ibu rumah tangga. Namun karena bisnisku sering naik turun, Nadine akhirnya membantu perekonomianku dengan mendirikan usaha kuliner. Wajah cantik yang dahulu sering tampil full make up, kini selalu tampil polos sambil berkutat di dapur sambil membuat aneka kue untuk dijual.
“Woy, liatin cewe segitunya. Masih ga kapok juga lo?”.
“Kampret lo, jangan mikirin yang aneh-aneh lah Van “, jawabku sambil memelankan suara. Wanita berkacamata itu langsung melirik ke arah kami.
“Tobat bro tobat, Nadine jauh lebih cantik. Lagian bini kaya Nadine masih lo selingkuhin juga, mau nyari apalagi dari wanita di luar sana? “, ujar Ivan menggodaku.
“Gue udah tobat, ngapain sih dibahas lagi. Ga sanggup lagi gue maen cewe Van”. Ujarku sambil menghirup kopiku yang terakhir.
“Kalo cewe nya ganas gimana? Mau lo kerjain juga “, godanya.
“Udah cukup sekali gue kehilangan Nadine. Kalo ibarat persentase, 80% kebahagiaan gue berasal dari Nadine, 20% ada di perempuan lain. Ketika gue memilih yang 20%, gue harus kehilangan 80% dari hidup gue “.
“Gue kehilangan anak, rejeki, karir, semuanya berantakan. Orang-orang stalking kehidupan gue, hujat gue di sosial media. Sanksi sosial itu kejam bro. Di dunia aja udah berat banget rasanya, apalagi di akhirat nanti”.
“Tumben inget mati lo, kemaren kemana aja “, seloroh Ivan