05.00 WIB – Stasiun Sudimara
Langit terlihat masih gelap saat aku berdiri di sebuah stasiun commuter line. Tampak beberapa orang berdiri mematung sambil bermain ponselnya. Aku kembali memandang sebuah papan petunjuk keberangkatan yang terdapat di atasku. Masih 20 menit lagi, gumamku. Jurusan yang akan kutuju adalah stasiun Daru, sebuah stasiun kecil yang letaknya 7 KM dari Pengadilan Agama Tigaraksa. Hari ini adalah Rabu kelabu bagiku, hari dimana aku menjalani proses perceraian dengan Rayendra.
Langit sudah mengeluarkan semburat jingga, pertanda matahari mulai muncul di ufuk timur. Stasiun itu semakin dipenuhi orang-orang yang hendak bekerja mengais rejeki dengan rela berdesak-desakan di dalam commuter line. Bagi mereka hal ini adalah pemandangan biasa, namun ini kali pertama bagiku. Aku bukan seorang wanita karir, waktuku habis di rumah bersama anak-anakku. Berdiri sepagi ini di sebuah stasiun merupakan hal baru bagiku.
“Perhatian! Akan segera masuk di jalur 2 commuter line ke arah stasiun Maja “
Aku tersentak dari lamunan begitu mengetahui keretaku akan tiba. seorang ibu paruh baya yang sedari tadi berdiri disampingku langsung bersiap-siap berdiri di belakang garis kuning. Aku mengikuti apa yang ia lakukan, sambil kembali memastikan bahwa aku tidak berdiri di peron yang salah. Dari kejauhan sebuah gerbong kereta melaju mendekati kami, desing mesin kereta berdecit memekakkan telinga. Para penumpang berdiri di belakang garis kuning dan bersiap menunggu pintu kereta itu terbuka.
Aku beringsut memasuki sebuah gerbong yang tak begitu ramai sambil mencari bangku kosong. Seorang pria muda menepuk pundakku, ia berdiri dari duduknya untuk memberikan kursinya.
“Terima kasih Mas “, senyumku.
Aku memperhatikan orang-orang di gerbong kereta yang kunaiki. Para menumpang yang berada di gerbong ini bukanlah pekerja kantoran dengan setelan rapi. Rata-rata mereka adalah pedagang atau pekerja kasar yang naik dari arah Jakarta menuju kediaman mereka di sekitar Parung Panjang – Maja.
Jam tanganku menujukkan waktu pukul 06.00 pagi. Kereta melaju perlahan melintasi area perkebunan dan perkampungan yang sederhana. Mataku tak berhenti memperhatikan pemandangan di luar jendela, hingga kereta yang kunaiki melintas diantara tebing yang di bawahnya terhampar persawahan yang memukau mata.
“Sebentar lagi kereta Anda akan tiba di Stasiun Daru. Penumpang yang hendak turun, mohon periksa kembali barang bawaan Anda “
Suara pemberitahuan tersebut membuyarkan lamunanku. Aku segera berdiri ke arah pintu terdekat sambil berpegangan pada tiang kereta sembari menunggu pintu terbuka. Beberapa wanita paruh baya turut mengantri di belakangku sambil memikul keranjang belanja yang berisi sayuran segar. Sepertinya ibu ini adalah penjual, batinku.
Ketika kereta berhenti dan pintu terbuka, aku langsung keluar bersama ibu penjual sayur tersebut. Kulangkahkan kaki keluar stasiun tersebut sambil menyisir pandangan mencari ojek pangkalan, namun sayangnya tidak kutemukan.
“Neng ojek Neng, mau kemana? Pengadilan Agama? “
Sebuah motor berhenti di sampingku, tampak seorang pria yang mengenakan helm full face menawarkan diri.
“Iya Pak, ke Pengadilan berapa ya “, tanyaku ragu-ragu.
“50 ribu Neng “, ujarnya.
“30 ribu ya pak “, tawarku.
“Ya udah ayo naik Neng “, ujarnya.
Aku menaiki motor tersebut sambil berkomat-kamit membaca dzikir. Ini pertama kali aku pergi ke tempat se-asing ini. Rasa waspadaku meningkat, pegangan tanganku pada jok motor kian erat.
“Kerja di pengadilan Neng “, tanya ojeg tersebut.
“Saya mau sidang Pak “, jawabku singkat.
“Oh Neng mau sidang. Sidang yang keberapa Neng?”, tanyanya lagi.
Aku diam tak ingin menjawab pertanyaannya, kurasa hal ini sangat pribadi bagiku.
“Saya sering anter yang mau sidang cerai Neng, kasian saya mah liatnya “, ujarnya kembali.
“Iya Pak “, jawabku bingung tak tahu harus menjawab apa.
“Semoga dilancarkan ya Neng sidangnya. Hubungan sama mantan tetep dijaga aja biarpun kesel, apalagi kalo punya anak “, sahutnya lagi.
“Iya pak Inshaallah “, jawabku dengan canggung.
Kami menyusuri jalan perkampungan selama kurang lebih 30 menit. Akhirnya kami tiba juga di sebuah gedung yang terletak di komplek PEMDA. Aku segera turun dan memberikan uang pas 30 ribuan pada ojeg tersebut. Kulangkahkan kaki menuju gedung tersebut, suasana masih tampak sepi, hanya terdapat beberapa petugas yang tengah hilir mudik. Tampak sebuah meja resepsionis dan sebuah mesin cetak nomor antrian besar di sebelahnya. Aku mendatangi meja tersebut sambil bertanya pada petugas yang sedang duduk mencatat.
“Permisi Pak, saya mau ambil antrian sidang “, ujarku memanggil petugas bertubuh tambun tersebut.
“Bawa surat panggilannya Bu? Boleh saya liat?”, ujarnya.