13.20 WIB – Kantor Pusat Hardja Sukses Group
“Ini laporan bulan April Pak, silakan diperiksa lagi “, ujar Daniel sambil menyerahkan map berisi dokumen pembelian unit apartemen milikku. Kubaca dokumen tersebut dengan teliti, rupanya grafik pembelian apartemen di Bandung masih menggairahkan.
“Grafiknya naik Pak, penyewaan tiap unitnya meningkat karena harga tanah di Bandung semakin mahal, orang-orang beralih ke penyewaan lahan vertikal dibandingkan membeli rumah “, tutur Daniel.
Aku cukup puas dengan laporan yang diberikan Daniel barusan, ia adalah salah satu Direktur Utama dari anak perusahaan milkku. Ia sudah bekerja di perusahaanku selama belasan taun lamanya, Daniel adalah tangan kananku yang paling kritis dalam grup ini.
“Kieu atuh*, saya puas liat grafik penjualan apartemen kita naik tajam tiap tahunnya. Omset kita paling kenceng dari apartemen soalnya, kalo bukan dari sini bisa tewas grup kita “.
“Ngomong-ngomong gimana progress RENTZ Pak? Sudah monetizing kah?”, tanya Daniel.
“Haduh belum tuh, pusing saya Dan. Sudah berbulan-bulan masih berkutat sama aplikasi yang sering error lah. Masih lebih cepet sistem manual pake agen kayaknya “, jawabku sambil memijat keningku yang sudah pegal.
“Saya kan sudah bilang sama Bapak, digitalisasi di bisnis kita belum diperlukan saat ini. Pake metode konvensional aja lah, market kita juga males kalau harus install aplikasi seperti itu “.
“Tadinya kan si Ray optimis kalau dalam sehari dia bisa meraup ratusan downloader. Satu downloader kan bisa menjaring market min 10% untuk melihat-lihat property. Jadinya kita bisa dapet revenue dari iklan juga “, jawabku.
“Ya itu kalau berhasil kan Pak, kenyataannya kan sampai saat ini tidak menghasilkan revenue sama sekali. Yang ada uang grup dipakai untuk membiayai overhead mereka. Ya grup bakal gak terima lah, kita susah payah kerja malah dipake buat gaji mereka “.
“Iya saya tau, dari kemarin Dirut lain udah pada protes sama saya soal RENTZ. Masih saya pikirin bagaimana kelangsungan kantor yang satu itu “.
Tok tok tok
“Permisi Pak Hardian, ada tamu yang mau ketemu Bapak “, ujar Nanda asistenku dari balik pintu.
“Siapa? Memangnya saya ada janji meeting ya?”.
“Ga ada agenda meeting sih Pak. Tamunya ibu-ibu, katanya mau ketemu Bapak “.
“Iyaaaa, siapa namanya Nanda. Kan dia pasti punya nama atuh “, jawabku setengah kesal padanya.
“Gak disebutin sih Pak, katanya mau ketemu. Gitu bilangnya “, jawab Nanda sambil menggaruk kepalanya.
“Ya sudah lah, suruh masuk aja. Daniel kamu tolong rapiin dulu dokumen di meja saya “, jawabku sambil menyuruh Daniel untuk membereskan dokumen yang baru saja kubaca.
Tak lama pintu ruanganku terbuka, masuklah seorang wanita dengan setelan jas hitam dan rambut berwarna burgundy yang tertata rapi. Senyumnya mengembang saat aku menatap wajahnya.
“Maya!!!, Ya ampun saya kira siapa yang dateng. Si Nanda tuh cuma cengengesan pas saya tanya siapa tamunya, taunya neng geulis* yang nyariin saya. Kumaha damang* ?”, sapaku dengan sumringah melihat wanita cantik di hadapanku.
“Alhamdulillah, pangestu* Har. Lagi sibuk ga? Maaf ya dadakan gak sempet ngabarin mau mampir kesini”, jawab Maya dengan suara lembut dan senyum manisnya.
“Daniel, kenalin ini Ibu Maya temen SMA saya. Udah pernah ketemu ga sih kalian? Bu Maya ini ketua Perhumas yang sering kita undang ke hotel.
“Apa kabar Bu Maya? Saya sering liat Ibu kok kalau ke hotel, terakhir sudah agak lama ya bu bikin acara sama staf humas kami?”.