15.00 WIB – Apartemen Renata
Bulir rintik hujan yang jatuh membasahi balkon jendela bergemercik seperti lantunan melodi memecah kesunyian. Langit sore tampak mendung namun tidak dengan hatiku, karena besok adalah hari yang amat sangat spesial bagiku. Kupandangi sepasang cincin emas putih dengan grafir nama di bagian dalamnya, cincin ini akan kusematkan pada jari manis Renata esok hari.
Kuraih ponselku untuk menghubungi seseorang, aku ingin membagikan berita baik ini padanya. Namun aku masih ragu, apakah ia akan turut berbahagia akan pernikahanku.
Tut Tut Tut Tut Tut Tut Tut Tut
“Halo Ray”, sapa suara di sebrang sana.
“Halo Ma, apa kabar? “.
“Yah begini saja Ray, kamu bagaimana di sana?”, tanyanya dengan suara sendu.
“Baik Ma. Ma besok bisa datang ke Bandung ga? Aku pengen Mama hadir besok?”, pintaku padanya.
“Ada apa Ray? Mama lagi ga enak badan, males ngapa-ngapain “, jawabnya.
“Oh sakit apa Ma?”.
“Biasa lah kepala pusing terus ga napsu makan udah beberapa hari “.
“Udah ke dokter belum Ma, Ray transfer ya buat berobat “.
“Mama udah minum jamu kok, lumayan enakan sih. Kamu sudah transfer untuk anak-anakmu belum Ray?”.
“Sudah Ma, selalu ditransfer pas gajian kok “.
“Alhamdulillah, jangan sampe gak transfer ya Ray, inget ketiga anak kamu. Mereka cucu Mama, darah daging Mama Ray “, jawabnya pilu.
“Iya Ma pasti. Jadi besok Mama ga bisa ke Bandung ya, kalo bisa mau Ray beliin tiket kereta nih “, pintaku memelas.
“Memangnya penting ya? Ada apa sih Ray? Kalo Mama lagi sehat sih mungkin bisa, tapi sekarang masih pusing Ray “.
“Oke kalo gitu Ma, istirahat aja dulu ya Ma. Nanti aja Ray cerita kalo Mama udah baikan. Jaga kesehatan ya, Assalamualaikum “.
Kuhela nafasku yang terasa berat di dada, otot di kepalaku menegang lalu sakitnya menjalar hingga ke pundak. Aku tak bisa berpikir jernih, padahal besok aku harus menghadapi momen sakral dalam hidupku. Bagaimana jadinya aku menikah tanpa dihadiri orangtua atau keluargaku. Apa yang harus aku ceritakan pada keluarga Renata jika tak ada satupun keluargaku yang hadir.
Kini Renata tengah bermalam di rumah ibunya, tempat aku akan mengucap ijab kabul untuk meresmikan hubungan kami. Ada secercah kesedihan yang menggelayut di hatiku, betapa aku sangat rindu pada anak-anakku. Sedang apa Kila dan Kica kini? Aku ingin merasakan pelukan dan mendengarkan celoteh dan tawa renyah mereka. Namun aku tak bisa bertemu mereka sebelum persidanganku selesai. Kondisi aku dan Rania tengah berseteru di meja hijau membuatku enggan untuk bertemu.
PING
Renata
“Mas, sudah hubungi Pak Haji untuk besok? Om Idris udah siap buat jadi wali. Tinggal siapin saksi dari pihak kamu Mas”.
Sebuah pesan masuk dari Renata yang tengah mempersiapkan prosesi akad nikah kami esok hari. Dikarenakan proses sidangku belum usai, mau tak mau kami harus menikah secara siri terlebih dulu. Aku ingin segera menghalalkan hubunganku dengan Renata, batin ini sudah tak kuasa menanggung perasaan bersalah jika terus berlama-lama hidup dalam ikatan tanpa penikahan dengannya.
“Aku sudah menghubungi Fadli dan Dimas jadi saksi nikahku. Besok juga anak-anak RENTZ aku undang semua. Sayangnya Mama gak bisa hadir, katanya lagi sakit Ren “.
Segera kukirimkan pesan tersebut pada calon istriku. Perasaan bahagia, panik, serta sedih kini bergumul menjadi satu. Sudahlah, aku tak boleh larut dalam kegelisahan, besok adalah hari dimana Renata Rahardjo akan menjadi istriku. Sebuah keluarga baru tengah menantiku saat ini, mereka adalah orang-orang yang sangat aku cintai saat ini.
Keesokan Harinya
07.30 WIB – Rumah Ibu Renata
“Widih Mas Ray, ganteng amat nih “, seru Fadli yang menyorakiku saat aku baru saja turun dari mobil.
“Yoih, mau merit harus ganteng dong. Lo bisa keren juga kalo pake batik Fad “, ujarku sambil menggoda Fadli yang memakai kemeja batik dengan tatanan rambut klimis.
“Yah siapa tau ketularan bisa cepet dapet jodoh Mas “.