Harta Tahta Renata

Ratih widiastuty
Chapter #47

Malaikat Juga tahu (Cerita Renata)

06.30 WIB – Ruas Tol Cikampek

Mobil yang kami kendarai melaju di KM 57, membawa kami ke rumah ibu mertuaku di Bogor. Ya, kini statusku sudah sah menjadi menantu meskipun beliau belum tahu kalau kami sudah menikah kemarin. Ray sangat cemas, perasaan bersalah terus menyelimutinya. Aku mencoba menenangkan suamiku agar tidak gelisah terus menerus, mungkin memang sebaiknya keluarganya tau mengenai hubungan kami. Oleh karena itu Ray membulatkan tekad untuk mendatangi Mama di Bogor.

“Mas, siapa aja yang nanti ngumpul di rumah Mama?”, tanyaku pada Ray yang berada dibalik kemudi mobilnya.

“Kaya biasa lah Mas Doni, Nana, Radit palingan”, jawabnya.

“Kira-kira reaksi mereka gimana ya? Marah apa enggak?”.

“Loh kenapa harus marah? Ini keputusan aku kok, dan tidak melanggar agama kan?”.

“Iya sih, tapi tau sendiri yang mereka tahu kamu masih dalam proses sidang. Seolah-olah aku mengambil hak orang”.

“Sidang kan hanya status di mata negara, banyak kok orang yang udah cerai bertahun-tahun tapi males ngurus karena mereka ga ada biaya. Yang penting kan aku udah resmi cerai secara agama dari bulan Maret lalu Ren “, ujarnya sambil membelai kepalaku.

“Trus nanti reaksi Mama gimana? Aku takut Mama ga nerima “, jawabku cemas.

“Pasti Mama nerima kamu kok sayang, aku yakin kamu bisa mengambil hati Mama “.

Aku hanya diam tak mau berasumsi lagi akan sikap keluarga Ray padaku. Kalaupun saudaranya belum bisa menerima, bukanlah suatu masalah bagiku. Yang terpenting bagi kami adalah restu Ibundanya, peerku tak banyak jika hanya mengambil hati sang mertua.

12.30 WIB – Bogor

Akhirnya mobil kami tiba juga di pekarangan rumah ibu mertuaku, terlihat mobil MPV silver dan sebuah motor matik terparkir di depan halaman, jantungku berdegup kencang karena harus menghadapi keluarga Rayendra.

“Ayo sayang, kita turun. Ada Radit sama istrinya tuh di dalem, kamu belum ketemu mereka kan?”. ajak Ray untuk segera masuk ke rumah ibundanya.

“Kamu duluan yang masuk dong Mas, kenalin sama semua orang gitu loh. Jangan kaya kemaren maen tinggal-tinggal aja”, jawabku kesal karena sikap Ray tempo hari di rumah ini.

“Iya gak bakal ditinggalin lagi lah, tenang aja ya. Kamu yang bawa parcelnya gih, nanti kasih langsung sama Mama”.

Aku turun dari mobil sembari membawa bingkisan parcel buah di tangan kiriku, sedangkan tangan kananku menggenggam lengan Ray dengan erat. Kudengar sayup-sayup suara tawa dari dalam rumah, terdengar akrab dan penuh kehangatan. Tawa itu semakin jelas kudengar begitu kami menginjakkan kaki di teras depan, pintu rumah terbuka hingga aku bisa melihat beberapa orang berkumpul di dalamnya.

“Assalamualaikum, widiiiih udah pada ngumpul nih “, sapa Ray di depan pintu masuk.

Suara tawa itu berhenti seketika, semua pasang mata melirik ke arah kami dengan tatapan terkejut. Celoteh Mas Doni yang dari luar kudengar sedang melempar guyonan langsung terdiam begitu kami datang. Tangannya menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Sementara Nana dan Radit saling melempar pandang, mulut mereka langsung bungkam begitu Ray menyapa. Seorang pria yang berada di samping Nana tengah mengamatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Waalaikumsalam. Berdua aja Ray?”, sapa Mas Doni pada kami.

“Iya Mas berdua aja. Mana Aldo nih, udah lama ga ketemu “.

“Ada sama Bundanya di rumah, lagi mau PTS katanya “.

“Dit, kapan dateng? Mana Arka?”, tanya Ray pada lelaki yang kelihatan lebih muda darinya.

“Dari kemaren malem nginep di sini. Arka lagi pergi sama Bundanya gak tau kemana “, jawabnya.

“Ren, kenalin ini Raditya adikku “, ujarnya.

Aku menerima uluran tangan Raditya, tatapannya dingin tak menatap mataku sama sekali.

“Kalo itu Dirga suami Nana, Dir kenalin ini Renata “.

Lihat selengkapnya