14.30 WIB - Starbucks Bintaro Xchange
“Rania mana sih kok belum dateng juga?”, tanya Nadine sembari melirik jam di pergelangan tangannya.
“Mommy, nanti baby Kian ikut juga kan ke sini?”, tanya Sean sambil mengaduk frappucino coklat di gelasnya.
“Harusnya ikut lah, kasian kalau ditinggal”, jawab Nadine.
“Mommy, Daddy-nya Kian kemana? Kok ga pernah ikut nganter Kian sih?”.
“Sean, jangan pernah nanya kaya gitu sama Tante Rania ya!”, ujar Dion menasihati anaknya.
“Why? Kan Daddy suka anter Mommy dan aku. Every daddy did, right?”.
“Daddy-nya Kian udah gak ada Sean “, jawabku sekenanya. Dion dan Nadine hanya tersenyum lalu mengalihkan pembicaraan.
Sudah satu jam kami berkumpul seperti biasa disini untuk menemani Sean les ice skating sambil menyusun draft persidangan untuk Rania. Sudah lama kami menunggu, namun Rania belum datang juga.
“Rania udah deket nih, katanya sorry telat soalnya Kian agak sumeng dari kemarin. Ga bisa ditinggal gara-gara ASIP nya abis “, tutur Nadine sambil membaca pesan singkat di ponselnya.
“Tuh kan, tau gitu samperin aja sih di rumahnya tadi “, ujarku.
“Rania gak mau katanya, lagi berantakan rumah kontrakannya “, jawab Nadine.
Tak lama kemudian, datang juga sosok wanita yang kami bicarakan. Rania datang sambil menggendong Kian yang sedang tertidur lelap.
“Sorry ya pada nungguin, Kian lagi rewel ga enak badan gara-gara gue tinggalin pindahan kemarin “, ujarnya sambil mengambil tempat duduk di samping Nadine.
“Lo mindahin barang sendirian Ran?”, Ga dibantuin siapa gitu?”, tanya Dion.
“Dibantuin supir truk aja mindahin barang-barang gede ke dalem. Gue bersihin rumah, kuras toren sampe taruh barang di tempatnya. Nyokap pegang anak-anak seharian, untung Nadine beliin makanan, kalo enggak anak gue gak makan”, jawabnya.
“Trus si Ray tau? Bantuin gak?”, tanya Nadine.
“Tau lah, gue kasih info ke dia kalo gue pindahan. Dia pengen nemuin anak-anak tapi gak bisa”.
“Alasan ga bisanya apa? Kalopun ga perduli sama lo minimal inget anak lah “, jawabku gusar.
“Katanya lagi gak enak badan Van “, jawabnya.
Aku semakin berang dengan jawaban Rania, nampak jelas gurat kelelahan terpancar di wajahnya.
“Sini gue gendong Kian, lo ngobrol aja sama Nadine. Kalo dia bangun gue ajak muter-muter ya”, sahutku pada Rania. Semua mata langsung memandang kearahku, seakan tak percaya dengan ucapanku barusan.
Tanpa menunggu persetujuan Rania aku langsung menghampirinya dan memangku bayi yang masih tertidur lelap itu. Tubuhnya terkulai lemas dan badannya terasa hangat. Kubetulkan sweater berwarna ungu yang membalut tubuh mungilnya agar ia tak kedinginan. Sesekali ia menggeliat mencari posisi nyaman sampai akhirnya Kian menjatuhkan kepalanya di pundakku.
“Si Ivan kesambet apaan, kenapa jadi mahir gitu gendong bayi”, ledek Dion saat melihat Kian tertidur nyaman di dadaku.