Kupandangi wajah suamiku yang masih lelap tertidur di balik selimutnya, setelah semalam ia baru saja sampai tengah malam dari Jakarta. Tiba-tiba saja ia pulang dengan raut masam, tanpa basa-basi ia langsung menjatuhkan tubuhnya di kasur dan tak bicara padaku sampai pagi ini.
“Mas, kamu mau ke kantor jam berapa? Aku gak bisa lama-lama nih, takut Pak Hardian nyariin”, seruku pada Rayendra yang masih tertidur pulas.
“Nanti siang aja deh, aku masih capek “, jawabnya tanpa membuka mata.
“Kalo Pak Hardian nyariin kamu gimana? Aku harus jawab apa?”.
“Bilang aja ada kerjaan di luar, nanti aku yang kabarin Pak Hardian ya “.
“Ih kamu bukannya bareng aja ke kantor, aku sendirian nih jadinya”, sungutku kesal sambil menarik selimutnya.
“Maaf Sayang aku masih cape, nanti malem kita nonton ya “, rayunya sambil menarik tanganku.
“Gak mau, aku gak suka nonton film kan”.
“Ya udah kita mau ngapain, ngopi mau ga?”.
“Udah ah aku ke kantor sekarang, daripada jadi omongan anak-anak nantinya “, jawabku sambil meninggalkan Ray yang masih meringkuk.
“Sayang, tolong buatin teh manis bisa ga? “.
“Aduh mana ada teh di sini. Kamu pesen sarapan pake ojol aja. Aku berangkat duluan bawa mobil ya”, jawabku sambil mengenakan sepatu dan membawa kunci mobil milik Rayendra. aku masih kesal dengannya karena kemarin ia mendadak ke Jakarta dengan alasan meeting, lalu pulang tengah malam dengan wajah kesal tanpa menyapaku.
Sejuta keresahan masih bergelayut di pikiranku, terutama tentang proses sidangnya dengan Rania. Hari ini adalah dimana agenda sidang Ray dilaksanakan, mungkin hal ini yang membuat Ray malas untuk bangun sebelum lawyernya memberikan informasi tentang hasil sidang nanti siang. Andai saja wanita itu tidak menampakkan batang hidungnya di pengadilan, proses sidang bisa selesai minggu depan. Namun sayang, kini Ray harus menjalani proses yang cukup panjang sampai dengan putusan.
12.30 WIB – Kantor RENTZ
PING
Suamiku
“Sayang nanti kita ketemu di cafe samping kantor ya”.
Pesan dari Ray masuk ke ponselku tepat saat aku hendak makan siang bersama anak-anak kantor. Rupanya Ray baru saja datang, ia mengajakku untuk makan siang di café sebelah. Segera kuberesi handphone, rokok dan alat make up dan kumasukkan dalam tas.
“Mbak Rena mau titip makan ga, kita mau beli ayam bakar “, tanya Fadli yang sudah siap menenteng kunci motornya.
“Enggak Fad, aku mau makan sama Mas Ray di sebelah”, jawabku.
“Deuh penganten baru, makan siang aja barengan terus “, godanya.
“Iya dong harus ditemenin terus, biar ga kabur diambil orang”, jawabku.
Dengan langkah seribu kulangkahkan kaki menuju café yang Ray tuju, letaknya tak begitu jauh dari kantor. Tempat ini adalah tempat makan favorit aku dan Daffa, di sini juga tempat dimana Ray dan Daffa saling mengenal satu sama lain. Kulihat sosok suamiku duduk di salah satu meja sambil menelepon seseorang dengan wajah gusar.
“Apa? Jadi isinya apa aja tuh Pak?”, tanyanya pada seseorang di sebrang sana.
“Trus hakimnya gimana? Nanya apa aja sama Bapak?”.
“Trus pembelaan Bapak apa?”.