06.30 WIB – Pasar Modern BSD
Suasana pagi di sebuah pasar modern di bilangan BSD ini masih sepi, hanya terlihat beberapa pegawai yang hilir mudik mengangkut logistik untuk dibawa masuk ke dalam toko. Parkiran kendaraan juga masih lengang, biasanya parkiran mobil ini sangat penuh hingga antriannya mengular hingga ke jalan raya.
Pasar ini bukanlah tempat yang asing bagiku. Selain karena jaraknya yang tak begitu jauh, lokasinya juga dekat dengan sekolah Kila. Dahulu aku sering mengantar Kila ke sekolah dan mampir sebentar ke pasar ini ditemani Rayendra. Kami suka menyempatkan diri untuk sarapan lontong medan kesukaan Ray.
Kulirik jam di pergelangan tanganku, masih setengah jam lagi menunggu toko di pasar ini dibuka. Aku berdiri dari dudukku, sebuah bangku di depan ATM centre tepat di pintu masuk pasar tersebut. Kurapikan tas yang teronggok di lantai, kususun kembali semua isinya dan kutenteng tas tersebut dengan sekuat tenaga menuju pasar tersebut.
Kuputuskan saja untuk berkeliling pasar sambil melihat-lihat suasana pagi di pasar ini. Kesibukan para penjual yang sedang menyiapkan dagangan mereka menyita perhatianku. Seorang ibu penjual sayur yang sedang merapikan tumpukan kentang menyapaku sambil tersenyum ramah. Begitu juga pedagang sayur di sebelahnya, tangannya melambai-lambai memintaku untuk mendekat dan melihat-lihat.
“Come on sister, what are you looking for? “, ujar lelaki berusia 20 tahunan itu menyapaku sambil melambaikan tangannya. Ya, jangan kaget dengan ucapannya yang menggunakan Bahasa Inggris dengan aksen Sunda kental. Mereka sudah biasa menyapa pembeli hingga menghitung menggunakan Bahasa Inggris seadanya. Kadang-kadang pembeli harus teliti saat mereka menghitung, karena aku saja kadang tak paham apa yang mereka ucapkan.
Aku masih berjalan sambil menenteng sebuah tas besar di tangan kananku, menyusuri setiap kios yang mulai terbuka. Hingga akhirnya kakiku berhenti di kedai lontong medan favoritku bersama Rayendra. Deretan kursi sudah berjejer tersusun rapi dengan meja yang sudah mengilap bersih menunggu untuk disambangi pembeli. Bayangan akan sosok Ray terukir jelas di ingatanku, rasanya aku melihat sosok Ray yang sedang duduk disana sambil melahap sepiring lontong sayur dengan sate kerang kesukannya. Perutku langsung berbunyi, namun kali ini aku datang bukan menjadi seorang pengunjung kedai lagi.
Ah, kupejamkan mataku untuk mengusir semua bayangan itu. Kuseret langkahku untuk kembali menyusuri pasar agar tidak terjebak nostalgia di depan kedai lontong medan tersebut. Batinku menjerit, dulu tangan kokoh Ray sering menggandengku sambil membantu membawakan belanjaan di pasar ini. Tak lupa kami singgah di toko mainan untuk membelikan stiker dan balon untuk Kila dan Kica, mainan yang harganya tak seberapa tapi sangat disukai oleh anak-anak. Harus kuakui kalau aku memang merindukannya, kenangan akan dirinya sudah menjadi bagian dari diriku. Tak terasa toko yang kutuju sudah terbuka, beberapa pegawai sedang melayani pembeli dengan giatnya.
“Permisi Ncik, saya mau nitip dagangan boleh gak?”, sapaku pada seorang wanita oriental berambut pirang yang sedang duduk di meja kasir.
“Apa barangnya Bu? “, tanyanya sambil menoleh kepadaku.
“Saya bawa Brownies Ncik. Brownies nya gluten free jadi bisa untuk dikonsumsi sama orang yang alergi”.
“Berapa satunya? Coba liat Browniesnya Bu?”.
Aku mengeluarkan Brownies yang kubuat dengan resep yang diberikan Nadine padaku. Kujual dalam sebuah kotak mika berukuran 20 x 10 dengan beraneka topping diatasnya.
“Satu kotaknya 65 ribu Ncik, buat Ncik saya kasih 60 ribu saja “, jawabku.
“Waduh ga masuk Bu harganya. Saya juga jual bolu coklat seharga 50 ribuan. Kalau 45 ribu saya ambil deh 10 box “, tawarnya.
“Maaf Bu belum bisa, ini pakai terigu yang gluten free. Aman buat yang sedang diet atau alergi”, tuturku masih berusaha merayu wanita tersebut.
“Aduh gak masuk Bu. Lagian juga jarang orang yang nyari kue gluten free. Mereka nyari kue yang biasa aja, yang penting murah dan perut kenyang”.
“Baik Ncik kalau gitu, makasih ya”. ujarku sambil berusaha tersenyum ramah padanya. Kumasukkan kembali Brownies tersebut dengan hati-hati ke dalam tas. Kuseret lagi kakiku menuju toko di sebelahnya.
Toko sebelahnya juga menolak daganganku dengan alasan harga terlalu mahal. Tak putus asa aku berjalan lagi mencari toko kue yang mau menerima Brownies yang kubuat. Hingga akhirnya aku teringat satu toko di mana kami sering membeli kue kesukaan Kila dan Kica, langsung saja aku bergegas mendatangi toko yang letaknya persis di pintu selatan.
“Pagi Ncik Lily, saya mau titip Brownies boleh gak?”, sapaku pada wanita oriental berusia 60 tahunan yang sedang melayani pembeli.
“Pagi, Brownies apa Mbak. Boleh liat ga?”, tanyanya dengan ramah.
“Brownies sehat Ncik, ini terbuat dari tepung bebas gluten, jadi aman bisa dikonsumsi orang yang diet atau penderita alergi”, uajrku sambil memperlihatkan Brownies yang kubuat.
“Ooooh ya ya saya tau. Cucu saya alergian soalnya, kalau makan kue makanya pilih-pilih. Berapa ini Mbak?”, tanyanya antusias.
“65 ribu Ncik, buat Ncik saya kasih 60 ribu aja “