11.30 WIB – Ruas Tol Ciawi
“Halo Pak, gimana tadi sidang? Replik isinya sudah sesuai dengan yang saya tulis?”, tanyaku pada sambungan telepon dengan Pak David Saragih.
“Sidang lancar Pak. Replik yang saya berikan ke majelis hakim berisikan kronologis tentang ketidakharmonisan dan ketidakpuasan Bapak selama berumah tangga. Saya tulis bahwa termohon tidak pernah mau melayani suami, enggan memasak makanan kesukaan dan tidak dekat dengan keluarga Bapak”, jawabnya.
“Bagus, lalu Bapak sudah membantah bahwa dalam rumah tangga kami tidak ada orang ketiga kan?”.
“Iya Pak, saya tulis bahwa perempuan yang dituduhkan termohon hanyalah rekan kerja dan tidak pernah ada hubungan spesial dengan Bapak”.
“Lalu bagaimana dengan besaran nafkah? Saya ga mau keluarkan uang sepeserpun untuk Mut’ah dan Iddah ya Pak. Soalnya Rania sudah dapat uang hasil take over rumah”, jawabku kesal.
“Sudah Pak. Saya rinci antara pemasukan dan pengeluaran Bapak, saya rasa majelis hakim juga akan menolak permintaan termohon”.
“Bu Rania ini sepertinya dibantu lawyer ya Pak? Semua yang tertulis di jawabannya sangat detail soalnya”, lanjutnya lagi.
“Iya, dia tidak sendirian. Bapak harus bisa kalahkan Rania, khususnya untuk besaran nafkah yang ia ajukan”.
“Untuk minggu depan agendanya Duplik ya Pak, giliran termohon untuk membantah semua gugatan yang Bapak tuduhkan dalam Replik barusan. Bapak siapkan saja dokumen untuk agenda Pembuktian, jangan lupa bawa saksi untuk hadir di persidangan 2 minggu lagi”, ujarnya.
“Saksi bisa siapa aja kan?”, tanyaku dengan cemas.
“Diutamakan keluarga Pak, soalnya keluarga adalah orang yang terdekat agar kesaksian dianggap valid”.
“Saya coba ibu saya deh, kebetulan saya mau ke rumahnya hari ini”.
“Baik Pak Ray, kalau ada update nanti saya kabari. Terima kasih”, tutupnya mengakhiri pembicaraan kami.
Akhirnya ada sedikit kelegaan mendengar informasi yang disampaikan oleh Pak Saragih barusan, setelah dua hari badanku rasanya remuk gara-gara dihajar Dion di kantornya. Kurang ajar Dion, orang yang selama ini aku percaya malah menikamku dari belakang. sudah bertahun-tahun aku bekerjasama dengannya namun yang kudapat adalah pengkhianatan. Wajar saja jika aku membalas dendam dengan mengirimkan teror pada Nadine, perbuatan busuk suaminya lebih memalukan daripada perbuatanku pada Rania.
Kuinjak pedal gas mobilku lebih dalam sehingga mobilku melaju kencang ke arah gerbang tol Ciawi. Kebetulan aku harus menemui ibuku, sekalian saja aku akan meminta dirinya untuk menjadi saksi di persidangan nanti. Kulirik sebuah bingkisan yang teronggok di sebelahku, sebuah baju dan kue yang dibelikan Renata untuk Ibuku. Aku yakin Renata pasti bisa meraih hatinya, wanita yang jadi istriku kini memang luar biasa. Tidak ada kata menyerah untuk mengambil perhatian keluargaku, kegigihan dan ketulusannya pasti akan berbuah manis suatu saat.
PING
Istriku
Mas, udah sampai rumah Mama belum? Kepala kamu masih sakit enggak?”,
Pesan singkat dari istriku muncul di layar ponselku.
“Sebentar lagi, aku baru keluar gerbang tol nih. Lagi berhenti di lampu merah”.