07.00 WIB – Pasar Modern BSD
Kususuri selasar pasar modern yang kini sudah seperti rumah kedua bagiku. Setiap hari aku kemari untuk mengantar atau mengambil Brownies yang kutitipkan pada Ncik Lily. Kadang Browniesku laris, kadang juga tidak tersentuh sama sekali. Namun semangatku belum tergoyahkan, masih ada suatu keyakinan untuk terus mengais rejeki di pasar ini.
Kakiku berhenti di sebuah kios berukuran 4 x 4m2. Sebuah meja panjang digelar di depan kios dengan aneka kue warna-warni tertata rapi diatasnya. Mulai dari kue tradisional hingga kue modern yang menerbitkan air liur bagi siapapun yang melihatnya. Ncik Lily sedang asyik menata kue, sementara suaminya sedang sibuk mencatat di meja kerjanya.
“Pagi Ncik, pagi Koh”, sapaku sambil melempar senyum pada pasangan lansia itu.
“Eh Mbak Rania, ditungguin dari tadi. Kue yang kemarin habis ya, jadi gak ada sisa”, ujar Ncik Lily sambil menyapaku dengan senyum hangatnya.
“Alhamdulillah, saya bawa varian baru Ncik. Ada rasa keju sama tiramisu”, sahutku sambil mengeluarkan 3 box Brownies ke hadapan Ncik Lily.
“Nah cakep nih topping-nya. Saya kemarin ambil satu buat cucu saya, dia suka banget Mbak”, ujar Ncik Lily sambil memperhatikan kue yang kubuat.
“Alhamdulillah, seneng dengernya Ncik. Saya juga masih belajar bikin kue, masih banyak gagal daripada suksesnya Ncik”, sahutku sambil terbayang-bayang tragedi Brownies gosong tempo hari.
“Semua pasti ngalamin Mbak, yang bikin kue di toko saya juga awalnya sama. Gak ada kegagalan ya gak belajar. Bikin kue itu gak kaya masak, semua butuh perhitungan yang cermat dan kedisiplinan”.
“Betul Ncik, Maaf ya kalau misal masih agak aneh rasanya. Saya minta masukan dari Ncik Lily saja”.
“Rasa oke kok, cuma mesti latihan buat hias topping sama cari kemasan yang lebih bagus. Biar Brownies kamu bisa naik kelas nantinya”, jawab Ncik Lily sambil memberikan nasihat.
“Mbak Rania, ini bon yang kemarin ya. Browniesnya laku 3 box, jadi totalnya seratus delapan puluh ribu rupiah”, sahut suaminya yang memanggilku di meja kerjanya.
“Siap, makasih Koh”, ujarku sambil menerima bon dan uang hasil penjualan Brownies kemarin hatiku berbunga-bunga karena akhirnya kueku laris juga.
“Ncik, bolu Panda nya ada ga? Saya mau beli 4 ya”, tanyaku pada Ncik Lily yang masih membereskan kuenya.
“Ada nih, pilih aja mbak”, sahutnya sambil memberikan kue kesukaaan anakku ke atas nampan kecil.
Aku mengambil kue tersebut dan memasukkan pada kantung plastik yang terdapat di meja. Kubiarkan Ncik Lily menghitung dan kusiapkan uang untuk membayarnya.
“Saya jadi inget nih sekarang, Mbak ini yang dulu suka beli bolu bareng dua anak kecil ya? kalau kesini suka borong kue ditemenin sama suaminya yang matanya agak sipit itu kan?”. ujar Ncik Lily sambil menatapku.
“Iya Ncik, dulu saya suka beli kue untuk arisan. Anak saya suka banget Kue Panda, kebetulan yang jual cuma Ncik Lily aja”.
“Ya ampun, maaf saya lupa Mbak. Sekarang udah ga borong lagi nih?”.
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Entah ada angin apa tiba-tiba aku menceritakan segala kisahku pada Ncik Lily. Ada suatu hubungan emosional antara aku dan toko kue ini, betapa seringnya aku dan Ray kemari saat kami masih bersama.
Ncik Lily mendengarkan ceritaku dengan serius, kue yang sedang ia susun diberikan pada karyawannya yang baru saja tiba di kios. Sesekali ia menghela napasnya, sorot matanya mulai memancarkan rasa iba.
“Ya ampun Mbak, saya ga tau harus ngomong apa. Sabar ya, Tuhan tidak pernah tidur. Kamu harus kuat, saya tau anak-anak kamu yang masih kecil itu. Saya jadi merinding dengernya, anak kamu suka digendong pas beli kue sama ayahnya”, ujar Ncik Lily sambil bergidik mengusap tangannya.
“Iya Ncik Makasih. Saya juga langsung inget toko Ncik buat titip Browniesnya, semoga saya bisa mengais rejeki disini”, ujarku sambil tersenyum pada wanita berambut putih itu.
“Eh ini kuenya masih ada banyak. Sini saya masukin lagi sisanya”, ujar Ncik Lily sambil memasukkan 6 buah kue ke dalam plastik.
“Jangan Ncik kebanyakan, saya beli 4 aja udah cukup kok”, jawabku sambil menolak dengan halus.