08.00 WIB – Kantor RENTZ
“Guys ada yang mau saya sampaikan nih sama kalian semua, semuanya udah pada ngumpul kan?”, ujarku pada seluruh staf RENTZ di ruangan meeting.
“Sudah Mas, ada apa ya? Kok kayanya mendadak banget”, jawab Fadli dengan wajah cemas.
“Iya nih semuanya serba mendadak. Jadi gini, Pak Hardian meminta saya untuk segera mencarikan investor baru yang akan membeli saham RENTZ. Saya punya target agar RENTZ bisa lepas dari Hardja Sukses Grup.
“Saya setuju Mas, kita lebih baik jalan sendiri aja, jangan dibayang-bayangi oleh grup. Saya yakin Mas Ray bisa dapetin investor baru agar produk kita lebih berkembang”, jawab Fadli.
“Maaf Mas, kenapa Pak Hardian meminta RENTZ untuk dicarikan investor baru?”, tanya Nurul.
“Karena kita dianggap belum memberikan keuntungan, padahal sudah saya beritahu bahwa RENTZ tidak akan memberikan keuntungan di tahun pertama”, jawabku.
“Ya gimana mau untung, pengajuan dana untuk promosi aja mereka ga kasih, mana bisa kita jalan ga pake promosi”, serobot Renata dengan wajah kesal.
“Betul Mbak Rena, saya selaku marketing gak bisa ngapa-ngapain kalau gak ada budget. Kapan besarnya Nama RENTZ kalau gini terus”, sesal Fadli.
“Jadi nasib kita bagaimana nih?”, tanya Dimas.
“Kita harus berhemat, ada kemungkinan selama 2 minggu kedepan kita hanya kerja remote dari rumah agar overhead kantor tidak membengkak. Kalian ga harus keluar ongkos juga buat ke kantor”, jawabku.
“Loh? Kita gak akan digaji maksudnya? Saya harus bayar SPP anak saya minggu depan Mas!”, celetuk Nurul.
Aku mencari kata-kata yang tepat untuk memberitahukan pada anak buahku bahwa bulan ini grup sudah berhenti menyuntikan dana. Petty cash hanya cukup untuk membayar sebagian gaji mereka, itupun harus mengorbankan gaji milikku.
“Saya usahakan gaji tetap diturunkan, tapi karena kalian kerja remote maka akan diberi setengah gaji saja”
Wajah kedelapan staf RENTZ tertunduk pasrah, sesekali mereka saling bertatapan karena gelisah. Sebagian lagi terlihat uring-uringan karena gaji hanya dibayarkan setengah. Dengan berat hati aku harus mengabarkan informasi ini hingga aku menemukan investor baru.
“Meeting saya tutup ya guys. Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas musibah ini, semoga saja masih ada solusi agar kita bisa bangkit lagi”, ujarku meminta maaf pada mereka.
“Aamiiin. Sama-sama Mas Ray”, jawab Fadli.
Satu-persatu mereka bubar meninggalkan ruangan kerjaku, terdengar helaan napas yang berat dan decak kesal dari mereka yang tengah menggerutu. Renata masih duduk di depanku sambil menatap jendela dengan wajah kesalnya, matanya kosong dan bibirnya mengatup tanda tak ingin bicara.
Bip Bip Bip Bip Bip Bip
Bip Bip Bip Bip Bip Bip
Bip Bip Bip Bip Bip Bip
Suara ponselku berbunyi berkali-kali. Aku sengaja tak menghiraukan panggilannya.
“Mas angkat dong, berisik”, celetuk Renata.
Kulirik ponselku, hingga kulihat sebuah nama yang menghubungiku
Raditya calling